Jumat 11 Jul 2014 14:21 WIB

Kinerja Demokrasi Yang Sedang-Sedang Saja

Red:

Oleh:Harun Husein -- Indonesia adalah negara demokrasi terbe sar nomor tiga di du nia setelah India dan Amerika Serikat. In do nesia juga adalah negara Muslim terbesar dan paling demokratis di muka bumi. Tapi, kinerja demokrasinya ma sih sedang-sedang saja.

Kinerja demokrasi Indone sia yang sedang-sedang saja, itu, kembali terkonfirmasi lewat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2013, yang dipublikasikan Badan Pusat Statistik (BPS), 4 Juli lalu, atau lima hari menje lang pelaksanaan pemilu presi den. Indeks demokrasi Indone sia adalah 63,68 (dari skala 0- 100). Angka tersebut, mengalami kenaikan dibanding pengukuran tahun sebelumnya, meskipun sangat tipis. Dalam IDI 2012, angkanya adalah 62,63, atau naik 1,05 poin.

"Meskipun mengalami kenaikan, tingkat demokrasi kita berada pada kategori sedang," kata Kepala BPS, Suryamin (Republika 4/7). Dalam IDI, tingkat demokrasi dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu Baik (indeks > 80), Sedang (in deks 60 - 80), dan Buruk (indek < 60).

Ada tiga aspek demokrasi yang diukur dalam oleh IDI yang merupakan indeks kom posit. Yaitu, kebebasan sipil (civil liberty), hak-hak politik (political rights), dan lembagalembaga demokrasi (institution of democracy).

Kebebasan sipil terdiri atas empat variabel, yaitu kebebasan berserikat dan berkumpul, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, dan kebebasan dari diskriminasi. Hak-hak po litik terdiri atas dua varia bel,yaitu hak memilih dan di pilih, serta partisipasi politik da lam pengambilan keputusan dan pengawasan pemerintah. Sedangkan, institusi demokrasi terdiri atas lima variabel, yaitu pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah, dan peradilan yang independen.

Pada IDI 2013, aspek kebebasan sipil tercatat 79,00 atau naik 1,05 dibanding 2012. Aspek hak-hak politik tercatat 46,25 atau turun sedikit dibanding tahun lalu 46,33. Dan, aspek lembaga demokrasi 72,11 atau naik 2,83 poin dibanding tahun sebelumnya.

Dari ketiga aspek tersebut, hak-hak politik merupakan yang terendah skornya. Penyebabnya, ungkap Suryamin, adalah masih adanya kecenderungan penyampaian aspirasi dalam bentuk demonstrasi dengan kekerasan. Seperti demonstrasi yang diiiringi perusakan, pembakaran, pemblo kiran, dan penyegelan kantor pemerintah.

Kendati berada di papan tengah, Indeks demokrasi tidak memperlihatkan tren meningkat maupun menurun, tapi masih berfluktuasi. IDI 2012 lalu, misalnya, turun dibanding IDI 2011. "IDI bersifat dinamis," kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Armida Alis jah bana, akhir 2013 silam. Prof Maswadi Rauf, pakar politik Uni versitas Indonesia, yang sejak awal terlibat merancang IDI, menyebutnya dengan istilah, "Baik. Tapi, baik yang rendah, bukan baik yang tinggi atau sangat baik. Hampir buruk."

Mulai teratur

Pengumuman hasil pengukuran indeks demokrasi di Indonesia ini, mulai teratur. IDI 2012 diumumkan pada akhir 2013 lalu, sedangkan IDI 2013 diumumkan pada Juli 2014.

Sebelumnya, ada jarak cukup jauh antara yang diukur dengan publikasinya. IDI 2009 dipublikasikan tahun 2011, se dang kan IDI 2010 dipublikasikan akhir 2012. "Idealnya memang, misalnya untuk IDI 2012 sudah diluncurkan awal 2013 atau paling lambat pertengahan 2013. Jadi, jangan sampai lewat pertengahan tahun berikutnya," kata Maswadi Rauf (Republika, 22/2/2013).

IDI, kata Maswadi, pada hakikatnya adalah kumpulan dari indeks setiap provinsi. "Jadi ini lebih mencerminkan perkembangan demokrasi di setiap provinsi di seluruh Indonesia. Ya Kita harapkan juga ini menjadi cerminan indeks demokrasi kita secara nasional."

Untuk level provinsi, IDI 2013 menun juk kan ada 15 provinsi yang mengalami kenaikan indeks. Tiga provinsi yang meng a lami kenaikan indeks terbesar adalah Nang groe Aceh Darussalam, Jawa Barat, dan Gorontalo. Selain itu, ada pula 18 provinsi yang mengalami penurunan in deks. Tiga terbesar adalah Lampung, Sumatra Barat, dan DKI Jakarta (selengkapnya lihat tabel).

Maswadi mengungkapkan, ada daerahdaerah yang marah kalau IDI-nya rendah. "Saya sudah per nah mengalami. Tidak hanya pemdanya yang marah, tapi akademisi daerah itu juga marah-marah. Sangat emo sional jadinya, karena dianggap merugikan daerahnya. Jadi, sebenarnya inilah sulitnya dengan pejabat pemerintah. Karena mereka sangat sensitif terhadap turunnya IDI," kata Maswadi.

Padahal, kata Maswadi, IDI bukanlah untuk menentukan citra baik-buruknya suatu daerah. "Justru kalau ada yang belum baik, itu kita harapkan bisa diperbaiki. Oleh Bappenas sebenarnya ini (IDI) adalah bahan untuk perencanaan, perbaikan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement