Jumat 11 Jul 2014 14:21 WIB

Menjaga Tradisi Pukulan Beduk

Red:

Kamis (10/7) petang, di salah satu sudut Jalan KH Mas Mansur, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Iwan (19 tahun) sedang sibuk mengasah batang kayu berbentuk bulat yang di salah satu ujungnya diikat karet ban dalam bekas. Batang kayu itu adalah pukulan untuk menabuh beduk.

Ya, Iwan adalah satu dari sekian banyak penjual beduk musiman di Tanah Abang. Iwan mengaku, selain menjaga tradisi, usaha yang digelutinya adalah warisan dari ayahnya yang sudah berjualan beduk sejak 1993.

"Kalau di sini, di Tanah Abang, emang udah tradisi dari dulu. Tiap Lebaran Haji, Idul Fitri, selalu jualan. Dari ujung ke ujung. Kebanyakan yang jual Betawi," kata Iwan saat ditemui Republika, Kamis (10/7).

Saban Ramadhan, kawasan Tanah Abang memang selalu dipenuhi dengan penjual beduk. Iwan mengatakan, beduk yang dijualnya terbuat dari kulit kambing, sapi, dan kerbau. Harganya bervariasi.

Ia menjelaskan, beduk dari kulit sapi atau kerbau dengan diameter paling besar, yaitu 60 sentimeter, dijual Rp 1,2 juta. Sedangkan, untuk beduk paling kecil, ukuran 30 sentimeter, dibanderol Rp 250 ribu. "Kalo kulit kambing lebih murah. Yang paling gede Rp 500 ribu, paling kecil Rp 200 ribu," ujar dia menjelaskan.

Pembeli beduk buatannya pun bukan hanya orang lewat. "Ada juga yang mesen buat gedung-gedung, pajangan di hotel-hotel, ada," kata Iwan.

Sejak awal Ramadhan, Iwan mengaku telah mendapatkan pemasukan kotor sebesar Rp 15 juta. "Ya, modal udah ketutuplah," ujarnya.

Namun, Iwan berpendapat, tahun ini terjadi penurunan penjualan dibanding tahun lalu. Jika tahun lalu ia membuat 150 buah beduk besar dan 100 beduk kecil, tahun ini ia hanya membuat 70 beduk besar dan 50 beduk kecil.

"Lagi sepi saja. Banyak yang masih punya yang dari tahun kemarin soalnya. Paling yang servis doang, ganti kulit doang," kata pria yang tinggal di Jalan Sabeni ini.

"Yang jual juga makin banyak sekarang. Udah pada jualan beduk. Tahun kemaren masih kurang."

Saat ini, Iwan dan rekan-rekannya mulai berjualan dari pukul 07.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Namun, jika sudah mendekati Hari Raya Idul Fitri, ia mengaku waktu buka menjadi lebih panjang. "Pas tiga hari sebelum Lebaran tuh, saya buka 24 jam," ujarnya.

Penjual beduk lain, Juminto (45), mengatakan, para penjual beduk mulai ramai bermunculan sejak 2005. Sama seperti Iwan, pria yang biasa disapa Jum ini juga merupakan pedagang musiman. "Tapi kalau saya mah tiap mau Idul Fitri aja. Idul Adha jual kambing," kata Jum sambil mengecat tong beduk.

Jum mengaku telah mempersiapkan barang dagangannya sejak 15 hari sebelum puasa. Ia mulai menghiasi tong-tong bedug dan menjemur kulit.

Selain menjual beduk yang sudah jadi, pria yang bekerja di salah satu ekspedisi pengiriman barang ini juga menjual kulit untuk beduk. Kulit-kulit itu dibelinya dari para penjual kulit. "Itu kita ambil dari bos-bos kulit. Yang mau dikirim ke pabrik tuh kita beli, kita jemur, terus keringin," kata dia menjelaskan.

Tong beduk dan bambu yang digunakan sebagai kaki beduk dibeli Jum dari salah satu langganannya di Manggarai. Selebihnya, ia membuat dan menghias beduk dagangannya sendiri.rep: c82 ed: karta raharja ucu

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement