Rabu 09 Jul 2014 15:08 WIB

Ribuan Pendatang di 'Kampung Inggris' Pare Terpaksa Golput

Salah satu suasana belajar di 'Kampung Inggris', Desa Palem, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID,KEDIRI -- Desa Palem, Kecamatan Pare, yang dikenal sebagai "Kampung Inggris", di kota kecil Kabupaten Kediri, Jawa Timur, tampak lesu di hari pencoblosan Pemilihan Presiden(Pilpres) 2014, 9 Juli ini. Pasalnya, banyak pendatang dari berbagai daerah yang tengah belajar Bahasa Inggris, tak mendapatkan hak pilih.

"Sistem administrasi di sini sangat menyulitkan, yaitu harus melampirkan surat keterangan (formulir) A5. Ini menjadi faktor utama bagi para pendatang di Kampung Inggris Pare sehingga terpaksa golput," ungkap Retno Widyayanti, alumnus Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, yang tengah belajar di Kampung Inggris Pare, Rabu (9/7).

Dia menyebutkan, terdapat sekitar ratusan hingga ribuan orangtengah belajar Bahasa Inggris di Pare dari berbagai daerah di Indonesia, apalagi di musim liburan sekarang. Mereka datang mulai dari Pulau Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, hingga Papua.

"Teman satu camp dengan saya saja ada 30 orang. Lalu di Pare ada 100-an kelas kursus Bahasa Inggris yang masing-masing menampung sedikitnya 70 orang. Hingga hari H pencoblosan, belum ada kejelasan terkait nasib para pendatang di Kampung Inggris ini," kata perempuan asal Kota Gudeg (Yogyakarta) itu.

Mereka terpaksa melepaskan hak pilihnya karena mekanisme yang ribet. "Mekanisme pencoblosan di sini tidak bersahabat bagi pendatang seperti kami. Seharusnya ada tawaran solusi untuk mempermudah penggunaa hak pilih,"  ujar Retno

Mereka sudah coba datang ke kantor desa setempat, berharap ada keringanan bagi para pendatang. Tetapi mereka tetap dituntut menyerahkan formulir A5. "Bahkan Tadi pagi kami sudah coba langsung datang ke tempat pemungutan suara (TPS), tapi tetap ditolak," tutur Retno lagi kepada Republika.

Seharusnya, menurut Retno, kartu tanda penduduk (KTP) atau surat izin mengemudi (SIM) cukup menjadi syarat untuk bisa mencoblos, seperti pada pemilu legislatif (pileg) April lalu. "Dengan kemajuan teknologi dan semangat demokrasi, fenomena seperti ini mestinya tidak terjadi. Semangat demokrasi adalah semangat kebersamaan, gotong royong dan tercapainya hajat hidup sebanyak mungkin orang," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement