Selasa 08 Jul 2014 12:32 WIB

Migrant Care Adukan KPU

Red:

JAKARTA -- Migrant Care mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan pemungutan suara ulang di Hong Kong. Hal itu dilakukan untuk mengakomodasi ratusan warga negara indonesia (WNI) yang tidak dapat menggunakan hak pilih mereka pada Ahad (6/7).

"Kami meminta dilakukan pemungutan ulang," kata Direktur Eksekutif Anis Hidayah, di kantor KPU, Jakarta, Senin (7/7).

Anis menerangkan, banyak pemilih di Hong Kong adalah buruh migran. Para buruh itu sudah susah-payah menyempatkan waktu datang ke lokasi pemilihan di Victoria Park agar dapat menggunakan hak pilih mereka untuk pilpres. Akan tetapi, lantaran alasan waktu tidak cukup, ratusan buruh itu kehilangan hak memilihnya.

Migrant Care, kata Anis, telah mengantongi bukti rekaman video dan testimoni dari buruh migran di Hong Kong. Bukti itu menguatkan dugaan penyelenggara pemilu di Hong Kong tidak mengakomodasi hak konstitusi pemilih. Apabila KPU menggunakan alasan pemilih baru datang ke TPS setelah pukul 17.00, maka Anis menyayangkan tidak sigapnya KPU sebagai penyelenggara pemilu. "Harusnya, PPLN (panitia pemilihan luar negeri) menyiapkan alternatif lain untuk mengakomodasi hak pemilih," ujar dia.

Dia menjelaskan, sejak Ahad (6/7) pagi, pemilih sudah memadati separuh lapangan Victoria Park. Jika PPLN memang sudah menyosialisasikan bahwa TPSLN buka pukul 09.00-17.00 waktu setempat, mestinya ketika sudah pukul 16.00 disusun strategi baru sehingga jangan sampai ada kerumunan pemilih yang sudah datang tapi tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Karena alasan itulah, Migrant Care akan mengadukan KPU dan Bawaslu lantaran tidak memfasilitasi hak pemilih di Hong Kong.

Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay mengatakan, keterbatasan waktu pemungutan suara tersebut merupakan kebijakan yang diberikan oleh Pemerintah Hong Kong karena lokasi TPSLN berada di kawasan publik milik pemerintah setempat. "Akan berbeda jika TPSLN itu ada di kantor kedutaan atau konjen (konsulat jenderal) kita di sana. Jadi, harus dihormati juga peraturan dan kebijakan yang diberikan oleh pemerintah setempat," kata Hadar.

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Muhammad mengatakan, pemberitaan tentang kisruh pemungutan suara pilpres di Hong Kong terlalu didramatisasi. Hal yang terjadi di Victoria Park tidaklah sesuai dengan pemberitaan media dan pembicaraan di jejaring sosial.

"Apa yang sampai di Tanah Air itu adalah blow up media yang luar biasa. Saya Muslim dan tidak mau menggadaikan puasa saya. Tidak mungkin kami tidak melayani hak warga negara kalau dia sedang dalam posisi mengantre di TPS," kata Muhammad, di Hotel Borobudur, Jakarta, Senin (7/7).

Muhammad melanjutkan, berdasarkan hasil pemantauannya secara langsung di Victoria Park, memang benar ada sekelompok WNI yang melakukan unjuk rasa. Namun, sebelum pukul 17.00 waktu setempat, TPS sudah sepi. Tiba-tiba, 30 menit setelah TPS ditutup, sekelompok orang datang menyatakan mereka belum memilih.

"Ada gerombolan orang yang menyatakan mereka belum memilih, padahal jarinya sudah hitam. Pas ditanya, mereka katakan solidaritas kepada orang yang belum memilih. Tapi media menangkap seluruhnya yang belum memilih," jelas Muhammad.

Karena itu, Muhammad meminta masyarakat bijaksana dalam mencerna informasi yang disampaikan berbagai pihak. Segala tekanan dalam bentuk informasi menjelang pemungutan suara harus dihadapi dengan jernih dan tenang.

Anggota Bawaslu, Nelson Simanjuntak, menambahkan, jika pemilih datang setelah pukul 17.00 waktu setempat, maka penyelenggara pemilu di Hong Kong tidak bisa disalahkan. "Aturan kami terakhir pukul 17.00 waktu setempat, seharusnya mereka sudah hadir sebelum jam tersebut," katanya.

Nelson menegaskan, Bawaslu tidak bisa melakukan perpanjangan waktu dan pencoblosan ulang karena akan menimbulkan masalah jika suara dari pencoblosan tersebut condong ke salah satu pasangan calon presiden. Akan menjadi buah simalakama ketika hak para pemilih diakomodasi tetapi bertentangan dengan aturan. Jika diberikan waktu yang lebih panjang untuk memilih dan selisih perolehan suara terlalu jauh, maka mereka yang kalah akan menggugat bahwa ada penyelenggara pemilu yang tidak netral.

Kendati demikian, kata Nelson, Bawaslu sebelumnya sudah memberikan rekomendasi kepada penyelenggara pemungutan suara di Hong Kong untuk meningkatkan jumlah TPS. "Waktu pemilu legislatif sudah kami sampaikan bahwa pemilih di Hong Kong akan meningkat sehingga jumlah TPS di Hong Kong harus ditambah. Itu rekomendasi kami," katanya.

Pemerintah Hong Kong dan Makau memberikan izin kepada perwakilan RI di Hong Kong dan Makau menggunakan fasilitas publik untuk penyelenggaraan pemungutan suara Pilpres 2014. Konsulat Jenderal RI di Hong Kong menyiapkan 13 TPS di Central Lawn Victoria Park dan dua TPS di Makau. Jumlah pemilih keseluruhan untuk dua wilayah itu 114.662 orang dengan 18.126 orang di antaranya akan menggunakan hak pilihnya melalui pos. Dari jumlah itu, pemilih yang hadir di TPS tercatat 23.569 orang di Hong Kong dan 1.568 pemilih di Makau.

Ketua Kelompok Kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri Wahid Supriyadi mengklaim jumlah WNI pemilih pada Pemilu Presiden 2014 di Hong Kong meningkat 400 persen dibandingkan pemilu legislatif pada April lalu. Selain itu, ada juga beberapa PPLN yang melaporkan ada peningkatan pemilih hingga 100 persen, seperti di Washington DC, Kuala Lumpur, Sydney, dan Melbourne. rep:ira sasmita/muhammad akbar wijaya/halimatus sa'diyah/antara ed: eh ismail

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement