Senin 07 Jul 2014 12:00 WIB

Menutup Celah Korupsi Wakil Rakyat

Red:

Oleh : Nurul S Hamami -- Di tengah hiruk-pikuk kam panye Pilpres 2014 yang pencoblosan surat suara nya tinggal dua hari lagi, rak yat Indonesia se cara res mi juga akan mem per oleh ang gota DPR, DPRD, dan DPD yang ba ru da lam waktu dekat. Para wakil rakyat ter pilih hasil Pemilu 9 April lalu ini akan di lantik pada Agustus-Sep tember (DPRD) dan 1 Oktober untuk anggota DPR dan DPD RI.

Masyarakat berharap parlemen yang banyak diisi oleh wajah baru ini menun jukkan kinerja lebih bagus dibandingkan periode sebelumnya. Tentunya yang pa ling utama adalah tidak ada lagi kasus-kasus korupsi keuangan negara yang melibatkan anggota Dewan. Kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota DPR/DPRD perio de lalu menjadi catatan buruk performa mereka selama lima tahun.

Berdasarkan data Komisi Pemberan tasan Korupsi (KPK) hingga April 2014, jumlah politikus DPR yang terlibat kasus korupsi dalam kurun waktu 2007-2014 mencapai 74 orang. Jumlah tertinggi yakni pada 2010 sebanyak 27 orang, kemudian pada 2012 sebanyak 16 orang.

Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muham mad Yusuf mengatakan, berdasarkan ri set tipo logi yang dilakukan lembaganya terhadap anggota legislatif, ditemukan bahwa periode 2009-2014 paling banyak terin dikasi melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sebesar 42,71 persen (antaranews.com, 7 Maret 2014).

Dari hasil analisis itu ditemukan bah wa anggota Dewan paling banyak terin dikasi melakukan tindak pidana korupsi (tipikor) yakni 69,7 persen, sedangkan ketua komisi yang terindiksi melakukan tipikor sebanyak 10,4 persen. Mayoritas tipikor yang dilakukan anggota Dewan melibatkan penyedia jasa keuangan, yaitu perbankan melalui fasilitas tunai, rekening rupiah dan polis asuransi.

Yusuf mengungkapkan, sepanjang tahun 2012 telah memberikan 20 nama ang gota Badan Anggaran (Banggar) pe rio de 2009-2014 ke KPK, karena ter in dikasi melakukan tipikor atau pen cucian uang. Dari ke-20 nama tersebut yang sudah diproses hukum oleh KPK adalah mantan anggota Banggar dari Fraksi PAN Wa Ode Nurhayati, mantan anggota Banggar dari Fraksi Demokrat Muha mmad Nazaruddin dan Angelina Sondakh.

Tutup celahnya

Asa untuk melihat wajah parlemen yang lebih baik dan terbebas dari kasuskasus korupsi terbuka lebar. Ini seiring dengan sedang dibahasnya revisi terha dap UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) di DPR. Diha rapkan secepatnya RUU terse but sudah bisa disahkan menjadi UU dan sudah berlaku bagi keanggotaan De wan yang baru. UU yang baru itu nan tinya bisa menjadi alat untuk menu tup celah terja dinya korupsi anggaran negara oleh para wakil rakyat.

Harapan itu tebersit setelah Mah kamah Konstitusi (MK) dalam putusan nya pada 22 Mei 2014 lalu telah mem batalkan kewe nangan Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam pembahasan keuang an negara. Pu tusan ini merupakan tindak lanjut dari gugatan Tim Advokasi Penyelamatan Ke uangan Negara terkait kewenangan DPR dalam pembahasan APBN. Dengan kata lain, dalam UU MD3 yang baru nanti, tak akan ada lagi ke wenangan Banggar DPR dalam mem bahas APBN secara perinci.

Masyarakat menyambut baik putusan yang telah menghapus kewenangan "sa tuan tiga" dan "perbintangan" yang sela ma ini dilakukan oleh Banggar DPR. De ngan putusan itu DPR berarti tak lagi me miliki kewenangan merancang ang garan belanja (APBN) secara detail. Kewenang an tersebut otomatis menjadi milik peme rin tah. DPR hanya berwenang memberi arahan secara makro saja. Sebelumnya, dengan kewenangan satuan tiga, DPR ikut menentukan penggunaan anggaran hingga ke tingkat program, fungsi, dan kegiatan yang akan dilakukan.

Dengan dibatalkannyanya kewenang an melakukan perbintangan maka DPR tak lagi bisa memberi tanda bintang ter hadap mata anggaran yang belum dise tujui DPR. Pemberian tanda bintang tersebut selama ini ditengarai justru dijadikan "proyek" oleh anggota Dewan untuk mendapat "jatah" dari proyekproyek APBN yang telah disetujui.

"Fungsi pengawasan dan fungsi legis lasi DPR banyak yang tidak berjalan kare na mereka sibuk membahas lebih dari 40 ri bu mata anggaran," kata Juru Bicara Tim Ad vokasi Penyelamatan Keuangan Nega ra, Erwin N Oemar, di MK, Kamis (22/5/2014).

Puluhan ribu mata anggaran itu selama ini diduga disalahgunakan oleh sejumlah anggota Dewan. Mereka men jadikannya sebagai pe luang bermain mata dengan para pe ngusaha "hitam" yang meman faatkan ce lah untuk men dapatkan pro yek-proyek pemerintah. Kedua belah pihak saling memberi keuntungan: ang gota Dewan "memberi" proyek kepada pengusaha, sementara pengusaha mem ba lasnya dengan memberikan "kickback" materi kepada anggota Dewan. Inilah yang terungkap dalam sidang-sidang kasus korupsi yang menyeret anggota Bang gar DPR.

Kewenangan ikut melakukan pemba hasan secara perinci mengenai mata ang garan (satuan tiga) memang membuka ce lah bagi anggota Banggar untuk mela kukan tipikor. Terbukti, muncul kasus korupsi yang dilakukan anggota Banggar DPR sebagai pembahas masing-masing mata anggaran dengan pemerintah. Tidak berlebihanlah bila dikatakan Banggar DPR merupakan wilayah "rawan" dan pusatnya peluang korupsi di DPR.

"Korupsi di parlemen episentrumnya di Banggar," kata Koordinator Divisi Ko rupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan, dalam diskusi "Me ninjau Ulang Banggar dan Kewe nangan pembahasana Anggaran DPR" di kantor ICW, Jakarta, Jumat (2/8/2013).

Kasus Wa Ode Nurhayati, M Nazarud din, Wisma Atlet Hambalang, PON Riau, PLTU Tarakan, korupsi di kemendiknas, dan pengadaaan Alquran di kemenag, se but Dahlan, adalah sebagian contoh ko rup si anggaran dalam proyek APBN yang dila kukan oleh wakil rakyat di Banggar DPR.

Dahlan menilai, Banggar DPR saat ini seperti arena bancakan dana APBN, di mana Banggar dilingkupi oleh sejumlah kepentingan partai politik. Temuan PPATK mencatat, adanya 2.000 transaksi keuang an mencurigakan yang sebagian besar terkait dengan Banggar DPR. KPK pun telah menjerat sejumlah anggota Banggar dalam kasus korupsi.

Pembajakan uang negara yang dila kukan oleh partai politik melalui wa kil nya di Banggar, menurut Dahlan, me rupakan bentuk dari kesulitan partai dalam pen ca rian dana dari publik dan korporasi. "Me reka akhirnya menyasar ke anggaran negara dengan legitimasi prosedur yang mereka bikin sendiri," katanya.

ICW dalam publikasinya terkait putus an MK yang memangkas kewenang an Bang gar DPR dalam hal satuan tiga dan per bintangan, memuat latar bela kang diajukannya pemangkasan kewe nang an DPR tersebut oleh para pemohon yakni YLBHI, Forum Indonesia untuk Transpa ransi Anggaran (Fitra), Indonesia Budget Center (IBC), ICW, Feri Amsari, dan Hifdzil Alim. Hal ini juga dimuat dalam bagian Pendahuluan Putusan MK itu.

Hulu ke hilir

Para pemohon menegaskan bah wasan nya pembentukan Banggar DPR telah men ciptakan kesempatan bagi par tai politik untuk mengirimkan utusan nya mencari dana bagi kas partai. Apalagi di kuatkan pula dengan kewenangan untuk menentukan hingga satuan tiga yang menyebabkan anggota DPR menentukan dari hulu hingga hilir proyek negara. Kewenangan itu dapat disimak dalam ketentuan Pasal 157 ayat (1) dan Pasal 159 ayat (5) huruf c UU Nomor 27 Tahun 2009 ten tang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), serta Pasal 15 ayat (5) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Pencurian uang rakyat melalui keten tuan undang-undang itu semakin dikuat kan pula dengan memberikan ruang ke pada DPR untuk membahas proyekproyek baru melalui pembahasan APBN Perubahan (APBN-P). Penataan kembali anggaran negara melalui APBN-P tentu membuka ruang baru bagi DPR dan partai politik penyokongnya untuk men dapatkan aliran dana baru bagi partai. Padahal kewenangan konstitusional nya untuk DPR melalui undang-undang mem perjuangkan anggaran itu jauh ber basis dari misi "semangat kerakyatan".

Bah kan pasal-pasal dalam UU tersebut bertentangan dengan semangat yang dikehendaki oleh Pasal 23 ayat (1) UUD 1945. Untuk itu agar proses pengang garan ke uangan negara dapat berlan das kan semangat kerakyatan daripada ke par taian, maka dilakukan pengujian un dang-undang (judicial review) terhadap UU MD3 dan UU Keuangan Negara.

MK pun akhirnya membatalkan ke we nangan yang dimiliki oleh Banggar DPR yakni kewenangan satuan tiga dan per bintangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3. Mes kipun MK tidak membubarkan ke bera da an Banggar, namun dengan me mangkas kewenangannya, maka akar per masalahan terbukanya celah korupsi ang garan negara melalui Banggar DPR se makin tertutup. Semoga saja tak terjadi lagi korupsikorupsi di DPR nantinya.

***

Putusan MK Dinilai Aneh

* Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Ah mad Noor Supit menilai, putusan Mahkamah Kon stitusi (MK) yang mengurangi kewenangan Banggar DPR RI aneh karena putusan itu sudah sesuai dengan kewenangan Banggar seperti yang tercantum di UU MPR,DPR,DPD dan DPRD (MD3).

* "Putusan MK tidak ada yang bertentangan de ngan UU MD3. Jadi aneh saja MK memu tus kannya," kata Noor Supit di Gedung DPR RI, Ja karta, Jumat (23/5/2014).

* Supit menjelaskan, dalam UU MD3, Banggar tidak pernah membahas anggaran sampai sa tuan tiga. "Pembahasan anggaran hingga satuan ti ga dilakukan di komisi-komisi, tidak pernah di Banggar," katanya.

* Sedangkan pembintangan sebuah mata ang garan, Banggar tidak punya kewenangan sama sekali.

* "Yang melakukan pembintangan anggaran itu adalah kementerian terkait dan komisi-ko misi," jelasnya.

* "Saya rasa MK dan pemohon (Tim Advokasi Penyelamatan Keuangan Negara) tidak mengerti dan tidak membaca UU MD3. Jadi putusan MK itu aneh," kata politisi Golkar itu. ant/nul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement