Ahad 06 Jul 2014 18:00 WIB
kisah

Memilih Agama Ketimbang Harta

Red: operator

Kisah berikut semoga menjadi bahan perenungan bagi orang tua masa kini tentang pentingnya mengedepankan agama ketimbang dunia sebagai bahan pertimbangan ketika hendak menikahkan putra-putri mereka. Potret kehati-hatian tersebut seperti diteladankan oleh Sa'id bin al-Musayyab. Tak tanggung- tanggung, ia menolak pinangan al-Walid, putra mahkota Dinasti Umayyah.

Ini semua berangkat dari keteguhan dan konsistensi Sa'id yang dikenal sebagai ulama senior di Madinah. Ia adalah tokoh terkemuka dari kalangan tabiin dan kerap mendapat undangan dari istana untuk menyampaikan nasihat, tetapi lebih sering ia menolak permintaan tersebut. Sebab, bagi Sa'id, mestinya para penguasa itu mendatangi masjid dan bergabung dalam majelis ilmu.

Kisah komitmen Sa'id tentang prioritas agama ketimbang harta dalam menikah itu dituturkan ketika Khalifah Malik bin Abdul Marwan saat gagal meminta kesediaan tokoh tersebut. Kegagalan ini pun menjadi perbincangan hangat hingga menyentuh cerita tentang pinangan istana yang di abaikannya. Konon, al-Walid, putra mahkota, hendak dijodohkan dengan putri Sa'id.

Si anak bungsu dari Ibnu Marwan makin terheran-heran. "Benarkah itu? Dia menolak menikahkan putrinya dengan putra mahkota?" ujarnya. Namun, sang kakak tak tahu bagaimana peristiwa penolakan itu terjadi. Lalu, seorang pengasuh putra sultan pun berkata bahwa ia mengetahui kisah itu. "Sekiranya diizinkan, saya akan menceritakan seluruh kisah itu," ujarnya. Ia pun kemudian mengisahkannya kepada kedua putra sultan.

"Gadis putri sang syekh telah menikah dengan seorang pemuda di kampung saya bernama Abu Wada'ah. Kebetulan dia adalah tetangga dekat saya. Pernikahannya menjadi suatu kisah yang sangat romantis, seperti yang diceritakan Abu Wada'ah sendiri kepada saya," kata sang pengasuh.

Abu Wada'ah merupakan salah seorang murid Syekh Sa'id bin Musayyab. Ia tak pernah absen di setiap majelisnya. Hingga suatu saat, ia tak menghadiri majelis selama beberapa hari. Tak ada kabar datang darinya. Lalu, ketika Abu Wada'ah telah mendatangi majelis, ia segera mendapat sapaan dari syekh. "Ke mana saja kau wahai Abu Wada'ah?" tanya Syekh. "Saya sibuk mengurus jenazah istri saya yang meninggal," jawabnya. Syekh pun berkata, "Jika kau memberi kabar, pastilah aku akan takziyah dan membantu kesulitanmu."

Abu Wada'ah pun merasa berterima kasih atas kebaikan syekh. Saat majelis telah usai, syekh kembali menyapanya. Ia meminta Abu Wada'ah duduk sejenak untuk berbincang. "Apa kau tak berpikir untuk menikah lagi?" tanya syekh.

Mendengarnya, tentu Abu Wada'ah terkejut. "Semoga Allah merahmati Anda wahai Syekh. Siapa yang mau menikahkan putrinya dengan saya, sementara saya ini hanyalah pemuda yatim dan hidup dalam kondisi fakir. Aku hanya memiliki harta dua atau tiga dirham," ujarnya. Namun, jawaban Syekh sangat mengejutkan, "Aku akan menikahkanmu dengan putriku," ujarnya. Abu Wada'ah tentu saja heran bukan kepalang. Ia sangat kaget mendengarnya. "Anda wahai Syekh? Anda berkenan menikahkan putri Anda dengan saya, sementara Anda tahu betul kondisi saya?" tanyanya tak percaya.

Namun, Syekh menjawab santai, "Ya benar. Jika ada seorang datang dan saya menyukai agama dan akhlaknya, maka saya akan menikahkan putri saya dengannya. Dan, kau adalah orang yang saya sukai karena agama dan akhlaknya," jawab Syekh. Putri Syekh pun kemudian menikah dengan Abu Wada'ah. Dalam membangun rumah tangga, Syekh selalu siap membantu rumah tangga putri dan murid kesayangannya.

Mendengar kisah Abu Wada'ah itu, para putra sultan pun terkejut. "Orang itu sungguh mengherankan," ujar si bungsu tak habis pikir dengan sikap Syekh Sa'id. Namun, si pengasuh yang bercerita menimpali, "Apa yang mengherankan wahai Tuan?

Syekh memang manusia yang menjadikan dunia hanya sebagai kendaraan dan perbekalan untuk akhirat. Demi Allah, bukan karena beliau tak suka putra Khalifah. Hanya saja, Syekh memandang al-Walid tak sebanding dengan putrinya.

Syekh hanya khawatir putrinya akan tergoda dengan fitnah dunia," ujarnya. Said menambahkan, "Putriku adalah amanat di leherku, maka kupilihkan apa yang sesuai untuk kebaikan dan ke selamatan dirinya. Bagaimana pendapat kalian jika ia pindah ke istana Bani Umayyah, lalu bergelimang harta? Bagai mana keteguhan agamanya nanti?" rep:amri amrullah ed: nashih nashrullah

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement