Jumat 04 Jul 2014 12:00 WIB
tatar sunda

Tatar Sunda- Kampung 'Singkong' Cireundeu, Ketika Warga Kampung tak Butuh Nasi

Red:

Pada 1924, sesepuh masyarakat Kampung Cireundeu, menjadikan singkong sebagai makanan pokok, maka sejak itu pula anak cucu mereka pun tak pernah makan nasi. Karena kenyataan tersebut, banyak orang menyebut daerah yang terletak sekitar 11 km dari pusat Kota Bandung itu sebagai ‘kampung singkong’.

Kampung Cireundeu terletak di Kota Cimahi, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan. Dengan luas permukiman empat hektare, kampung yang di sebut sebagai kampung singkong itu dihuni 330 orang dari 70 ke pala keluarga.

Sebutan sebagai ‘kampung singkong’ juga diperkuat dengan keberadaan patung singkong di gerbang kampung tersebut. Apa lagi, kampung itu, juga dikelilingi oleh kebun singkong seluas 20 hektare.

Mereka tidak pernah makan nasi, karena mereka memang tak pernah berurusan dengan beras. Tapi, mereka punya ‘rasi’. Rasi me rupakan kependekan dari be ras singkong yaitu olahan sing kong yang mereka jadikan bahan utama makanan pokok.

Bagi masyarakat adat Cireundeu, nasi singkong tak ada beda nya dengan nasi beras. Sebagai ha sil olahan dari rasi, nasi sing kong mereka makan dengan lauk pauk dan sayur seperti halnya orang yang makan nasi beras.

Menurut tokoh masyarakat Cireundeu Asep Wardiman (47 ta hun), sebenarnya, tak ada aturan yang mengharuskan anggota ma syarakat desa adat itu untuk hanya makanan nasi singkong. Tapi, kata Asep, mereka hidup dengan penuh kesadaran akan adat serta budaya yang diwariskan nenek moyang. "Karena kesadaran akan bu daya itulah, dengan sendirinya, kami terbiasa mengikuti aturanaturan yang diwariskan oleh nenek moyang," katanya.

Bagi mereka, nasi singkong justru sudah menjadi makanan pokoknya. Sedikit mengonsumsi, juga sudah bisa mengenyangkan perut, dan kekuatan karbohidratnya lebih tahan lama di tubuh.

Menurut Asep, penduduk Ci reundeu ingin menjaga warisan itu de ngan konsisten. Maka, ketika be pergian ke luar kampung pun, me reka tetap tidak makan nasi. Orang Cireundeu selalu membawa bekal beras singkong bila bepergian.

Begitu juga dengan Asep dan keluarganya. Mereka belum per nah merasakan rasanya nasi. "Setiap bepergian istri saya selalu membekali rasi. Ini demi menjaga kebiasaan turun-te mu run," kata pria pemilik perusahaan pengeboran CB Purnama Tekhnik itu.

Kebiasaan membawa bekal olahan singkong, juga dijalankan oleh pemuda dari Cireundeu yang bekerja atau kuliah di kota lain. Para ‘nonoman’, begitu para pe mu da itu disebut dalam bahasa sun da, juga berupaya menjaga ke biasaan turun-temurun tersebut. "Karena rasi pengolahannya ham pir sama dengan beras yang di ta nak menjadi nasi, setiap pulang su dah pasti saya membawa rasi untuk bekal di tempat kos," ujar Dewi Lismiati (29), perempuan dari Cireundeu yang kuliah di Universitas Pasundan, Bandung.

Kampung adat

Tokoh Kampung Cireundeu Mira Sukma (37), yang biasa di pang gil Kang Going, menyatakan, masyarakat luar sering menyebut kampung mereka sebagai kam pung adat. Walaupun, warga asli maupun instansi berwenang, tidak pernah ada yang secara resmi me nyebut permukiman itu sebagai kampung adat.

"Kebiasaan Cireundeu yang berbeda dengan masyarakat lain nya, membuat para pengunjung menyebut Cireundeu sebagai kam pung adat. Kami minoritas," kata Going.

Menurut Going, tak perlulah ada pengakuan resmi karena ke sadaran penduduk untuk menjaga kebiasaan tak makan nasi. Hanya, sebutan dari pengunjung mengenai kampung mereka itu cukup menguatkan Cireundeu menerus kan kekhasan mereka.

Namun sebagai kampung adat, Cireundeu berbeda dengan Kam pung Naga di Tasikmalaya dan Baduy di Banten. Perbedaan itu, mi salnya, dapat dilihat dari pe nam pilan lingkungan tempat ting gal. Permukiman di Kampung Ci reundeu tak berbeda dengan permukiman pada umumnya dengan keragaman rumah tembok.

Tak ada larangan mengikuti perkembangan teknologi komunikasi dan alat transportasi bagi warga Kampung Cireundeu. Masyarakat Cieurende memiliki prinsip ngindung ka waktu, mibapa ka zaman, yang artinya tetap meng ikuti arus perkembangan zaman, khususnya perihal teknologi dan komunikasi.

Maka, secara fisik, penampilan kehidupan sosial mereka tak ada bedanya dengan orang lain. Mereka menggunakan telepon seluler, televisi ada di setiap rumah. Banyak juga orang Cireundeu yang memiliki kendaraan. Bahkan, rumah di kampung itu merupakan bangunan permanen.

Namun, kata Asep Wardiman, perkembangan teknologi tak menjadi penghalang bagi mereka untuk mempertahankan kearifan lokal. "Kami tetap mengikuti per kembangan zaman dengan catatan tidak lupa akan budaya sendiri," kata Asep.

Sebuah bangunan sekolah dasar yang berdiri di antara kebun singkong dan perumahan warga Cireundeu, kata tokoh ma syarakat Abah Emen, membuktikan bahwa mereka juga peduli akan pendidikan. "Minimal anak cucu kami bisa tamat pendidikan sekolah dasar," ujar Abah Emen (75). Abah Emen merupakan sese puh Cireundeu yang pernah menjadi kepala sekolah. Ia mengaku, sangat peduli akan pendidikan anak-anak di lingkungan masyarakat adat itu.

Selain mempertahankan sing kong sebagai makanan pokok, masyarakat Cireundeu juga meneruskan kegiatan berkesenian warisan nenek moyang mereka. Di sebuah tempat yang disebut bale saresehan, terdapat beberapa gamelan sunda yang digunakan untuk bermusik. Para nonoman terampil memainkan alat musik sunda itu.

Kreatifitas dan keterampilan bermusik nonoman Cireundeu kadang diperlihatkan kepada orangorang yang mengunjungi kam pung tersebut. "Kami akan ber usaha 'ngamumule' seni Sunda karena jika bukan kita sebagai warga Sunda, siapa lagi yang akan menjaganya," kata Kang Going. "Nga mumule" merupakan kata dalam Bahasa Sunda yang berarti meme lihara atau melestarikan.

Di sebuah sudut bale saresehan itu ada sepotong kayu hitam yang ditulisi prinsip hidup warga Cireundeu, yang merupakan ajaran yang diterapkan oleh nenek moyang mereka. Tulisan pada kayu hitam itu berbunyi "Teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa da har, teu dahar asal kuat", itu selalu mendapat perhatian khusus orang-orang yang mengunjungi kampung tersebut. Prinsip hidup yang tertulis itu kira-kira sama dengan "Tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa masak nasi, tidak masak nasi pun asal bisa makan, dan meskipun tidak makan asalkan kuat."

Menurut Going, tulisan itu selalu menjadi bahan utama pertanyaan pengunjung soal Cireundeu. Kepada setiap penanya, Going menyatakan, bahwa prinsip hi dup masyarakat adat Cireundeu tersebut menjadi salah satu bukti bahwa mereka tak bergantung pada ketersediaan beras sejak dulu kala.

Sebenarnya, kata dia, pada 1918 masyarakat adat Cireundeu pernah menyimpan beras, karena nenek moyang mereka pun tak mengharamkan anak cucunya untuk menyimpan beras atau makan nasi. Sebelum mereka memilih sing kong sebagai makanan pokok, mereka mencoba beberapa untuk menjadi makanan pokok, yaitu jagung, ubi, singkong, dan kacangkacangan.

"Dan akhirnya setelah para leluhur mencoba makanan-makanan itu, mereka memilih singkong sebagai makanan pokok untuk keberlangsungan hidup anak cucunya mendatang," kata kata Abah Widi, sesepuh kampung adat itu. Keputusan itu diambil pada 1924. antara, ed: agus yulianto

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement