Rabu 02 Jul 2014 13:30 WIB

Steven Indra Wibowo Memeluk Hidayah Ramadhan

Red:

Sudah genap empat tahun setengah sejak Steven Indra Wibowo melaksanakan puasa pertama. Ketika itu, Indra masih menjadi siswa di sekolah teologi dan aktif bekerja di gereja.

Berpuasa bukan hal asing bagi Indra. Dia sudah mengenal rukun Islam nomor tiga itu pada agama lamanya. Hanya saja, konsep dan aturan mainnya berbeda. "Kalau di agama lama, puasa itu hanya diam, tanpa ada aktivitas apa pun," kata dia yang kini aktif membina para mualaf saat berbincang dengan Republika, Selasa (1/7).

Pertama kali berpuasa, pendiri Mualaf Center Indonesia ini masih sekolah teologi dan juga aktif bekerja di gereja. Ini yang membuat Indra melihat berpuasa dalam Islam itu berbeda. "Puasa dalam Islam itu berjalan dengan aktivitasnya," kata dia.

Ketika berpuasa, Indra merasakan tantangan yang luar biasa. Apalagi, ia harus melakukan layanan dan pengakuan dosa. Jelas itu berlawanan dengan keyakinannya sebagai Muslim. Tapi, ia berpikir, tantangan ini tidak seberapa dengan apa yang dialami Rasulullah. "Motivasinya ya mudah, kalau Rasulullah berpuasa sembari berperang. Sementara, saya sembari ngajar, masak enggak kuat," kata dia.

Namun, ada tantangan yang tak kalah berat. Saat itu, Steven yang masih menyembunyikan status keislamannya berada di paroki untuk berbincang dengan para frater dan uskup lainnya. Sore itu, seperti biasa, dihidangkanlah teh. Sementara, waktu berbuka hanya tinggal menunggu menit.

"Saya pun bersiasat, coba nahan dengan berbicara untuk mengulur waktu. Pikir saya, supaya enggak minum atau enggak ditawarin minum," kenang dia sembari terkekeh. "Jujur, saya merasa sedih, ini kok berbuka di paroki dan bukan di masjid," tambahnya.

Selama itu, Indra merasa rindu ingin berbuka di masjid. Shalat berjamaah dengan keluarga Muslim. Sayangnya, saat itu keinginanya belum bisa diwujudkan. "Rasa campur kesel, sedih, dan enggak keruan. Itulah Ramadhan pertama saya," tuturnya.

Setahun kemudian, kembali muncul kerinduan. Saat itu, ia tengah bertugas, tepatnya berada di depan Gereja Stella Marris. Tak jauh dari sana, ada istri dan anak pemilik warung. Mereka dengan nikmatnya berbuka puasa meski sekadar menu sederhana.

"Beginikah memiliki keluarga yang sama-sama buka puasa, walau hanya pakai teh hangat dan roti. Benar-benar keluarga, rasanya indah sekali," kata dia.

Perlahan, usai melalui gelombang berat masa adaptasi sebagai Muslim, harapannya untuk bisa berpuasa bersama orang yang disayangi terwujud. Ia pun mulai menyatakan diri sebagai Muslim. Memang awalnya tidak mudah, tapi keluarga kecilnya itu menutupi kesedihannya.

"Alhamdulillah, saya sekarang punya seorang putri, Ana Humairah Wibowo. Lahir pada Sabtu kemarin," kata dia.

Rosario

Selama menutupi identitasnya, nyaris sulit bagi Indra untuk melaksanakan ibadah selama Ramadhan. Tapi, ia punya cara agar tidak menyia-nyiakan pahala yang disediakan kepada mereka yang ingin mengejar pahala.

"Waktu saya ibadah, pura-pura bilang mau doa rosario, semacam doa dan zikirlah dalam kepercayaan Islam," kata dia. Selama mengaku rosario, ia laksanakan tarawih dan zikir. "Termasuk, ngobrol sama Allah SWT. Banyak yang saya obrolkan kepada-NYa. Intinya, ngadu lah," kata dia.

Pada kesempatan itu, ia tuangkan keinginan memiliki keluarga yang seiman. Lalu, berdamai dengan orang tua ketika mereka tahu dirinya mualaf. Selanjutnya, ia ungkapkan keinginan bisa membaca Alquran, umrah, dan berdakwah bareng Zainudin MZ. "Alhamdulillah, semua sudah dikabulkan. red:agung sasongko ed: asyalaby ichsan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement