Jumat 27 Jun 2014 13:03 WIB
Mujahidah

Nyi Ageng Serang Wanita Pejuang

Red:

Kala melancong ke Yogyakarta dan menyisir bagian barat daerah Kulon Progo kita akan disambut sebuah monumen. Monumen yang dibangun warga Kulon Progo untuk menghargai perjuangan seorang pahlawan wanita. Monumen tersebut bersosok wanita menaiki kuda dengan gagah berani. Tangan kanannya memegang sebilah bambu runcing dengan bendera merah putih berkibar. Monumen yang dibalut keemasan itu menambah kesan betapa pemberaninya sosok wanita tersebut.

Sosok itu adalah Nyi Ageng Serang. Pejuang wanita tanah Jawa ini membela Indonesia bersama-sama dengan Pangeran Diponegoro meski usianya telah lanjut.

Nyi Ageng Serang memiliki nama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Dia dilahirkan di Serang, Purwodadi, Jawa Tengah, pada 1752.

Nyi Ageng merupakan anak dari Pangeran Natapraja yang menguasai daerah yang masih menjadi kekuasaan Kerajaan Mataram. Serang saat ini menjadi wilayah perbatasan Grobogan-Sragen.

Nyi Ageng Serang telah dikenal sejak muda menjadi pemberontak penjajah bersama ayah dan kakaknya, Kyai Ageng Serang. Dia dikenal pernah merobek perjanjian Gianti pada 1755.

Sejak kecil, Nyi Ageng Serang dikenal dekat dengan rakyat meskipun dia merupakan putri bangsawan. Jiwa kepahlawanannya terlihat sejak dia beranjak dewasa dan dipercaya menjadi panglima perang melawan penjajah.

Semangatnya bangkit untuk membela rakyat selain karena kematian sang kakak ketika membela Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwono I yang dibantu Belanda. Setelah perjanjian Giyanti, Nyi Ageng Serang pindah ke Yogyakarta bersama Pangeran Mangkubumi.

Perjanjian ini merupakan awal perpecahan Kerajaan Mataram. Isi perjanjian ini merupakan pembagian dua wilayah kekuasaaan kerajaan Mataram, yakni Yogyakarta untuk Pangeran Mangkubumi yang dikenal dengan Sultan Hamengkubowono I dan Surakarta untuk Pakubuwono III.

Meskipun perjanjian ini tetap berjalan, Nyi Ageng Serang terus melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda ketika itu. Tapi, Belanda dapat menyergap pasukannya di Semarang. Dalam peristiwa penyergapan tersebut, ayah dan kakaknya pun harus gugur.

Nyi Ageng Serang tak pernah menyerah untuk berjuang melawan penjajah. Ketika perang Diponegoro pecah pada 1825, Nyi Ageng Serang berjuang bersama suaminya, tapi lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang disayangi karena suaminya Raden Mas Kusuma Wijaya gugur.

Nyi Ageng Serang meneruskan perjuangan, bahkan ketika usianya menginjak 73 tahun ia dipercaya memimpin pasukan. Pasukannya diberi nama Laskar Gula Kelapa.

Laskar ini sangat diperhitungkan Belanda karena gerakan yang cepat ketika menyerang. Sehingga, terkadang membuat Belanda kewalahan dalam berperang dengan pasukan Nyi Ageng Serang.

Dia memimpin dengan melakukan long march dari Serang ke Barat menyusuri Sungai Progo, kemudian bermarkas di Traju Mas Perbukitan Menoreh. Dalam pertempuran ini, dia menggunakan daun talas sebagai taktik penyamaran.

Strategi yang kerap diterapkan Nyi Ageng membuat Pangeran Diponegoro mengakui keandalannya, kemudian mengangkat Nyi Ageng Serang menjadi salah seorang penasihatnya. Kedudukan Nyi Ageng sebagai penasihat sejajar dengan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Joyokusumo dalam siasat perang.

Di bukit ini diketahui dia menyusun strategi hingga wafat pada usia 76 tahun, tepat dua tahun sebelum Perang Diponegoro berakhir pada 1828. Dia jatuh sakit karena wabah penyakit malaria, sama seperti penyakit yang merenggut nyawa para prajuritnya.

Perjuangan Nyi Ageng Serang pun diteruskan cucunya, Raden Mas Papak. Dia bergabung dengan laskar Menoreh yang dipimpin Raden Mas Singlon, salah seorang Putra Pangeran Diponegoro yang bergelar Pangeran Menoreh.

Nyi Ageng Serang pun dimakamkan di daerah tersebut, tepatnya Dusun Beku, Pagerarjo, Kalibawang, Kulonprogo, 30 kilometer barat dari Kota Yogyakarta. Makam ini dipugar pada 1983 berbentuk bangunan joglo. Dia dimakamkan di samping suami, ayah, ibu, cucu, dan abdi dalemnya.

Banyak tempat bersejarah yang dapat dikenang, terutama ketika Nyi Ageng Serang berperang melawan penjajah. Tempat bersejarah yang kini masih terjaga, di antaranya, Sendang Suruh Giri Tengah Magelang.

Ketika Pangeran Diponegoro bergerilya. Dia singgah di Kalitengah selama tujuh bulan di rumah Nyi Ageng Serang. Sendang ini ditemukan dengan rumah Nyi Ageng Serang untuk berwudhu di dekat sendang ini dahulu juga ada surau untuk beribadah.

Hingga saat ini, sendang tersebut masih ada dan airnya tidak pernah habis meskipun musim kemarau tiba. Di sekitar sendang juga masih terdapat beberapa pohon yang sudah sangat tua berumur ratusan tahun.

Tempat kedua adaah Bale Kambang. Bale kambang merupakan sebuah bangunan kecil yang dulu digunakan sebagai pos istirahat Nyi Ageng Serang pada zaman Perang Diponegoro. Dahulu, bangunan ini hanya berupa pondok bambu.

Peninggalan Nyi Ageng Serang yang lain, di antaranya, sebuah wasiat yang berbunyi , "Untuk keamanan dan kesentosaaan jiwa, kita harus mendekatkan diri pada Tuhan Yang Maha Esa, orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan, tidak akan terperosok hidupnya dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup karena Tuhan akan selalu menuntun dan melimpahkan anugerah-Nya yang tiada ternilai harganya." 

Berkat perjuangannya, Nyi Ageng Serang diangkat menjadi pahlawan nasional pada 13 Desember 1974.

rep:ratna ajeng tejomukti  ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement