Selasa 24 Jun 2014 13:52 WIB

Idy Muzayyad, Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI): Pertaruhan Marwah Lembaga Penyiaran

Red:

Lembaga penyiaran berperan menginformasikan pasangan calon presiden dan wakil presiden secara berimbang dan proporsional kepada publik. Kendati demikian, televisi di Indonesia justru menjadi medium propaganda dengan memihak salah satu kandidat pada Pemilihan Presiden 2014 (Pilpres). Bagaimana peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait persoalan ini? Berikut wawancara Republika dengan Wakil Ketua Komisi Penyiaran (KPI) Idy Muzayyad beberapa waktu lalu mengenai keberpihakan televisi selama Pilpres 2014.

Bagaimana isi televisi selama Pilpres 2014?

Dari lembaga penyiaran, khususnya TV, selama kampanye pilpres, sebenarnya yang paling norak itu dua TV. Norak dalam hal menunjukkan keberpihakannya. Bahkan, sudah keluar dari prinsip dan kaidah jurnalistik. Misalnya, tidak proposional dari sisi durasi maupun frekuensi dan keberimbangan. Serta, dari sisi materi, tampak sekali ada upaya melakukan framing dan pembentukan opini publik.

Saya kira ini merupakan gejala yang tidak sehat untuk penyiaran. Karena, media penyiaran berbeda dengan media cetak yang menggunakan spektrum frekuensi. Frekuensi itu milik publik yang dikelola oleh negara dan dipinjamkan kepada pemilik stasiun televisi. Frekuensi bukan milik pemilik stasiun televisi.

Bagaimana bentuk tidak proporsional dan berimbang media televisi ini?

Contohnya di TV One, (isi siaran) 70 persen adalah Prabowo, 30 persen Jokowi. Jika di Metro TV, sebaliknya. Sebenarnya, boleh saja TV One menyiarkan kegiatan Prabowo dan Metro TV menyiarkan Jokowi. Yang tidak boleh, melulu membuat tidak proposional. Ketidakproposionalnya bisa dilihat dari frekuensi, durasi, dan materi.

Dari sisi frekuensi, kegiatan capres A ditampilkan empat kali, sedangkan yang lain hanya sekali. Capres A di TV A durasinya lama. Mungkin frekuensinya sama hanya yang satu durasinya lebih panjang dan satu lebih pendek. Dari sisi materi, mungkin TV A mengangkat sisi buruk capres ini sehingga terlihat ada framing.

Jika dikembalikan kepada fungsi, media penyiaran mempunyai sekurangnya empat peran dalam konteks politik atau pilpres. Pertama, informasi. Syaratnya, proposional, berimbang dan objektif. Kedua, pendidikan. Dalam konteks pilpres, pendidikan politik, terkait kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi hingga kesadaran penuh masyarakat untuk bisa secara mandiri menentukan pilihan.

Media mempunyai tugas membuka dua calon. Pilih yang mana terserah, jangan digiring. Jika menggiring, jaminannya apa kalau yang satu lebih baik? Enggak ada. Biar publik yang harus mempunyai kesadaran itu.

Ketiga, kontrol sosial. Dalam kontrol sosial, ada proses politik memerlukan kedewasaan dan kematangan. Kontestasi kedua calon jika tidak dikontrol oleh media maka bisa terjadi hal negatif. Ada residu-residu dari proses politik.

Di situ, media melakukan kontrol. Bukan menjadi provokator. Karena, fungsi media selanjutnya, yaitu perekat sosial. Jika membelah, seperti TV A mengatakan begini dan B begini itu, kan membelah sehingga masyarakat terbelah opininya. Itu bisa meningkat pada eskalasi konflik fisik di tingkat masyarakat.

Apakah empat fungsi tadi sudah berjalan maksimal?

Belum maksimal atau sedikit menyimpang. Menyampaikan informasi, tapi agak menyimpang. Pendidikan, tapi tidak utuh. Kontrol sosial menjadi provokator. Memang tidak semua (lembaga penyiaran), akan tetapi ada yang begitu (dua TV).

Apakah kedua TV itu dominan melakukan itu?

Yang bermasalah itu dua ini, Metro TV dan TV One. Kebetulan, kedua TV ini TV berita. Makanya, KPI memberikan teguran kepada dua TV tersebut karena dianggap tidak berimbang dan memihak.

Menurut Anda, mengapa kedua TV tersebut tidak berimbang?

Kita menduga ada intervensi. Kita mendengar bahwa orang di dalam, yang masih mempunyai kesadaran, resah dan gelisah (soal intervensi). Tapi, pendirinya adalah "Tuhan kecil media" dan mempunyai orientasi politik yang terbawa ke isi siaran.

Apa yang sudah dilakukan KPI agar TV lebih profesional?

Tindakan KPI hanya sebatas yang diatur dalam UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002. Ketika ada teguran kepada TV maka otomatis teguran kepada pendirinya yang melakukan intervensi. Sekarang ini, kesadaran masyarakat bahwa frekuensi milik publik sudah meningkat. Berdasarkan pantauan dan analisis pengaduan ke KPI, masyarakat bisa memilah media mana yang independen dan tidak. Contoh, media A partisan ke capres lain, masyarakat sudah bisa tidak langsung percaya.

Berapa stasiun TV yang menerima teguran dari KPI?

Kalau di pileg, 37 teguran terhadap 11 TV yang bersiaran nasional. Untuk pilpres, dua.

Bagaimana siaran pascateguran?

Memang ada sejumlah pelanggaran yang tidak berulang. Meskipun ada juga yang berulang, yang berulang nanti kita berikan sanksi lanjutan yang lebih berat. Dari 11 TV yang ditegur saat pileg, hanya dua yang relatif masih mengulangi. Artinya, sanksi kita berimplikasi terhadap mereka dan lebih berhati-hati. Contohnya, siaran MNCTV di pileg tidak karuan. Sekarang lumayan berhati-hati dan introspeksi. Jadi, ada gunanya sanksi yang diberikan KPI.

Selain teguran, apa yang seharusnya dilakukan?

Kalau mau agak lebih keras, itu terkait dengan perizinan, hanya kewenangan untuk mencabut izin itu tidak pada KPI. Itu ada di Kemenkominfo dan harus melalui keputusan pengadilan karena IPP itu munculnya dari Kemenkominfo. Kita hanya bisa merekomendasikan. 

Masa izin TV kan habis setiap 10 tahun. Tahun ini, ada sejumlah TV yang habis masa izin. Kalau habis maka bisa diperpanjang atau tidak. Di situ, akumulasi teguran tadi, termasuk konteks pileg dan pilpres, bisa menjadi pertimbangan untuk munculnya rekomendasi.

Bagaimana koordinasi KPI dengan Kemenkominfo?

Ada MoU dengan Kemenkominfo. Dalam salah satu yang diperbincangkan dan implementasikan adalah sanksi yang dikeluarkan KPI itu menjadi pertimbangan perpanjangan izin bagi lembaga penyiaran.

Apakah itu tidak menghambat kebebasan pers?

Itu tidak ada urusan dengan kebebasan pers. Jika berbicara sanksi KPI maka jangan kemudian dihadapkan dengan kebebasan pers. Itu lagu lama yang selalu digaungkan oleh kelompok media yang mau bebas, tetapi tidak bertanggung jawab. Kebebasan harus dipaketkan dengan tanggung jawab.

Sanksi yang diberikan KPI dalam bentuk apa pun pada konteks menjaga kebebasan yang bertanggung jawab. Karena, bebas itu bukan tanpa batas. Batasannya aturan sehingga muncul pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran turunan dari UU Penyiaran.

TV harus mempunyai izin karena menggunakan frekuensi milik publik. Kebebasan media penyiaran itu harus berbanding lurus dengan tanggung jawabnya menggunakan frekuensi milik publik.

Apakah KPI tidak ingin memberikan tindakan yang lebih tegas?

Tindakan lebih tegas itu tidak diberikan UU. Kita tidak diberikan otoritas untuk menghentikan sementara program yang melanggar. Makanya, kita sering kali dianggap tidak tegas karena sanksinya pemberhentian sementara program acara.

Apalagi untuk jurnalistik, selalu ada perbedaan dengan pihak lain bahwa saat melakukan sanksi penghentian sementara terhadap berita dikatakan melanggar kebebasan. Padahal, itu dalih. Karena untuk kepentingan publik, berita atau bentuk siaran apa pun yang tidak bertanggung jawab bisa dihentikan.

Jika setelah teguran, media tetap tidak proposional dalam isi siaran. Menurut Anda?

Marwahnya (TV) akan jatuh. Media tidak dipercaya dan publik dirugikan. Informasi yang didapat tidak utuh.

***

Terhambat Aturan

Lembaga penyiaran tidak mengindahkan kritikan masyarakat dan semprotan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terkait konten siaran tak berimbang, memprovokasi, dan mengarahkan kontestan politik tertentu. KPI tidak beraji karena hanya melakukan teguran terhadap lembaga penyiaran tersebut.

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Idy Muzayyad mengatakan bahwa KPI memang memberikan sanksi administrative, seperti teguran dan penghentian sementara program. Sanksi terberat, yaitu rekomendasi tidak memperpanjang izin penyelenggaraan penyiaraan (IPP) lembaga tersebut. Namun, pelaksanaan rekomendasi tergantung pada Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo).

"Problemnya di UU Penyiaran, KPI tidak bergerak di luar UU, termasuk kewenangan memberikan sanksi dan UU mengalami perubahan. Perubahan itu memangkas kewenangan KPI," ujar Idy kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Hambatan tersebut, kata Idy, diselesaikan dengan perubahan regulasi UU Penyiaran yang propublik. Sekarang ini, ia mengungkapkan, KPI berwenang terhadap 30 persen dari urusan penyiaran. "Sebagian masih ditangani pemerintah Kemenkominfo, termasuk izin."

Menurut Idy, beberapa kewenangan seharusnya dimiliki KPI. Pertama, KPI berwenang mengeluarkan IPP, sedangkan pemerintah mengurus izin frekuensi. Kedua, sanksi penghentian program tidak hanya sementara.

Sanksi lembaga penyiaran tidak hanya sebatas administratif, tapi juga denda. Cara ini, kata Idy, efektif di beberapa negara. Lembaga penyiaran bergerak untuk mendapatkan keuntungan.

Karena itu, menurutnya, sanksi denda membuat lembaga penyiaran berhati-hati. "Misal, tidak boleh ada adegan menampar. Sanksi bagi adegan menampar itu 10 juta atau 20 juta. Orang berpikir ketika memproduksi siaran untuk tidak melakukan hal itu," kata Idy.

 

Hal lain yang perlu diatur, yakni terkait partisipasi publik terhadap lembaga penyiaran. "Jadi, ke depan diperbanyak elemen masyarakat sipil yang konsen di isu penyiaran agar dikawal serius," ujarnya.

Ia berharap pembahasan revisi UU Penyiaran segera rampung karena berlangsung selama tiga tahun. Berlarut-larutnya pembahasan disebabkan ada kontestasi kepentingan. Ada kepentingan industri yang kuat dan kepentingan pemerintah yang tidak ingin melepas kewenangannya sehingga revisi menjadi mandeg.

"Ini UU inisiatif. Versi DPR bagus. Ketika ditandingkan dengan draf kepentingan lain, termasuk industri dan pemerintah, draf yang bagus tidak dipandang bagus ketika KPI tidak diberikan porsi kuat," kata mantan wartawan Bernas Yogyakarta ini. rep: c75 ed: ratna puspita

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement