Jumat 20 Jun 2014 12:00 WIB

Menjerat 'Rorikon' dan Predator Seksual

Red:

Papan bergambar gadis muda seksi dihiasi kelap-kelip lampu neon ditemukan di distrik belanja Akihabara, Tokyo, Jepang. Gambar serupa ditemukan dalam berbagai manga (komik), anime, dangame produksi Jepang. Maraknya konten semacam ini membuat kalangan penggemar anime muncul dengan istilah 'rorikon', yakni sub genre yang menjadikan gadis baru pubertas sebagai objeknya.

Lidah Jepang menyebutnya 'rorikon' kependekan dari Lolita Complex (Lolikon). Nama tersebut diambil dari novel Lolita karya Vladimir Nabokov. Dalam novel, Lolita adalah objek seksual pria paruh baya, Humbert, yang juga ayah tirinya.

Konten pornografi atau nyerempet pornografi tumbuh di Jepang. Negara ini tertinggal dalam melindungi anak dari pornografi dibandingkan negara maju lainnya.

Namun, sejak Rabu (18/6), Jepang bergabung dengan kelompok negara yang memiliki undang-undang relatif tegas terkait pornografi anak. Sebelumnya, Jepang adalah satu-satunya dari anggota G-8 yang tak punya aturan ketat untuk menangkal pornografi anak.

"Pornografi anak tumbuh karena ada konsumennya," kata profesor Hiroshi Nakasatomi dari Universitas Tokushima seperti dilansir AFP. Makanya, sang konsumen dibuat jera. Aturan untuk menangkal maraknya pornografi anak di Jepang sebenarnya tertuang dalam UU tahun 1999, tapi tak diatur sanksi yang membuat jera.

Kini, UU revisi mengatur barang siapa yang memiliki konten pornografi anak di bawah usia 18 tahun, meski hanya menyimpan dan tidak mendistribusikan, dikenakan denda. Besaran denda bagi yang nekat memiliki konten porno anak tersebut mencapai 1 juta yen atau sekitar Rp 118 juta.

Sayangnya, aturan ini tak mengatur konten pornografi anak yang ada dalam komik (manga), anime, dan game. Konon, katanya lobi industri anime yang besar di Jepang membuatnya tak termasuk dalam revisi UU.

New York Times menulis selesainya revisi UU akibat dorongan pihak kepolisian Jepang yang miris karena kejahatan produksi dan distribusi pornografi anak melonjak drastis. Badan Kepolisian Nasional Jepang mencatat sejak 2000 hingga 2013 kasus kriminal pornografi anak meningkat 10 kali lipat menjadi 1.664 kasus. Kepolisian meyakini tingginya angka kasus karena masyarakat tak takut memiliki konten tersebut.

Meski pornografi anak membuat orang tua manapun cemas, ternyata banyak negara yang tak punya aturan untuk melindungi anak dari jahatnya industri pornografi. Berdasarkan laporan dari International Center for Missing and Exploited Children, pada 2008 dari 187 negara hanya 29 yang memiliki UU yang komprehensif memerangi pornografi anak.

Sementara, 93 negara lainnya tak punya aturan yang mengatur pornografi anak. Lima puluh empat negara di antaranya tak punya definisi pornografi anak dan 36 negara tidak mengkriminalisasi kepemilikan konten pornografi anak.

Di Indonesia, UU No 44 Tahun 2008 tentang Pornografi sebenarnya detail mengatur hal ini. Salah satunya pada Pasal 32 yang berbunyi: 'Tiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 2 miliar.'

Namun, kenyataannya produsen pornografi anak, konsumen, maupun yang mendistribusikannya marak ditemukan. Indonesia menjadi tempat tujuan kaum pedofil. Bukan karena tak adanya undang-undang, tapi karena melecehkan penegakan hukum.

Kasus paling baru, Polda Metro Jaya menangkap Martono, pelaku pembuat video porno anak. Pelaku merekam video porno anak berusia sekitar 10 tahun dan menjualnya di internet. Sementara, kasus kejahatan seksual terhadap anak lekat di ingatan dengan belum terungkapnya kasus Jakarta International School.

Aturan perundangan nyatanya belum melindungi anak-anak dari para predator seksual. Peningkatan kesadaran soal biadabnya pornografi anak harus digaungkan. Penegak hukum harus dikejar agar pengidap 'rorikon' dan para predator seksual tak bebas berkeliaran memangsa anak-anak.

Oleh Wulan Tunjung Palupi

E-mail: [email protected]

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement