Kamis 19 Jun 2014 14:00 WIB

Distorsi dalam Sertifikasi

Red:

Cita-cita Masyarakat Ekonomi ASEAN untuk mewujudkan kawasan Asia Tenggara sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi pada 2015 tak pelak lagi akan meruntuhkan sekat-sekat imajiner antarnegara yang menjadikan peredaran barang dan jasa di kawasan ini menjadi bebas. Kondisi ini tidak hanya membuat persaingan pasar barang dan jasa di Asia Tenggara menjadi lebih ketat, tetapi memperumit pengawasan yang semakin meningkat mobilitasnya, terutama dari segi kualitas. Manakala konsumen akan diuntungkan dengan harga barang dan jasa yang lebih kompetitif, bisa jadi akan dirugikan dari sisi kualitas. Misalnya, dalam hal kesehatan (hygiene), keamanan (safety), ataupun kandungan (ingredient) dari produk maupun jasa.

Dalam situasi tersebut, diperlukan upaya pengawasan terhadap kualitas produk, baik barang maupun jasa, melalui suatu sistem standardisasi atau sertifikasi yang diakui secara nasional, bahkan regional dan internasional. Langkah ini sangat krusial untuk melindungi konsumen dan menjamin kualitas barang dan jasa yang lalu lintasnya semakin bebas dan deras di era Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Di samping untuk jaminan mutu barang dan jasa, manfaat yang tak kalah penting dari melakukan standardisasi adalah untuk mendorong peningkatan kualitas produk dan jasa agar lebih kompetitif di tengah persaingan pasar yang semakin ketat dan mengglobal. Selain itu, juga menuntut produsen untuk inovatif dan menjaga kualitas agar dapat merebut pasar.

Dengan demikian, standardisasi tidak hanya akan membuka peluang pasar domestik, tetapi juga regional, bahkan internasional yang biasanya menuntut pemenuhan standar-standar kualitas tertentu. Sebagai contoh, Uni Eropa yang memberlakukan standar keamanan (safety) dan ramah lingkungan (environmentally-friendly) terhadap produk maupun jasa yang memasuki pasar mereka. Ketentuan ini sering kali menjadi batu sandungan bagi produk-produk Indonesia, seperti sawit dan cokelat, untuk memasuki pasar tersebut.

Sertifikasi produk halal, contoh lainnya, bermanfaat untuk mendapatkan jaminan kehalalan suatu barang tidak hanya bagi konsumen dalam negeri yang mayoritas beragama Islam, tetapi juga untuk menangkap peluang ekspor ke negara yang berpenduduk Muslim. Di samping itu, sertifikasi produk halal juga sangat bermanfaat untuk pengembangan pariwisata syariah sebagai salah satu faktor utama yang dapat menarik lebih banyak wisatawan Muslim mancanegara untuk berwisata ke Indonesia. Apalagi, mengingat semakin berkembangnya potensi pasar pariwisata syariah akhir-akhir ini sejalan dengan semakin pesatnya peningkatan jumlah wisatawan Muslim dunia.

Meskipun terlambat dibandingkan beberapa negara ASEAN lain, Indonesia sudah mulai menerapkan sistem standardisasi ini untuk beberapa produk. Sayangnya, proses standardisasi dan sertifikasi di Indonesia masih terkendala oleh biaya sertifikasi yang mahal, proses yang lama, serta masih rawan terhadap praktik perburuan rente yang mendistorsi upaya ini dari pencapaian tujuannya. Akibatnya, alih-alih mendorong peningkatan kualitas, sertifikasi malah menjadi sarana untuk memperkaya pribadi dan kelompok bagi para pemburu rente. Sementara bagi dunia usaha, sering lebih dianggap sebagai batu sandungan, terutama usaha kecil-menengah dan mikro, untuk pengembangan usaha dan bersaing di pasar domestik maupun internasional.

Untuk menghindari terjadinya distorsi dalam pemberlakuan standardisasi, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh oleh pemerintah. Pertama, pemerintah perlu memberikan pendampingan teknis untuk meningkatkan kapasitas produk barang dan jasa sehingga dapat memenuhi standar yang diharapkan, baik itu standar kesehatan maupun kehalalan.

Kedua, pemerintah perlu meringankan biaya sertifikasi bagi usaha mikro dan usaha kecil-menengah. Sebagai contoh, biaya yang dibutuhkan untuk mendapatkan sertifikat halal dapat mencapai Rp 6 juta, bahkan biaya sertifikasi SNI ada mencapai  Rp 30 juta. Tanpa ada pendampingan pemerintah, upaya standardisasi ini hanya akan memberatkan industri nasional, khususnya industri kecil-menengah yang memiliki permodalan, tingkat keuntungan, dan skala usaha yang terbatas. Dengan demikian, program sertifikasi hanya akan menyentuh usaha menengah ke atas yang sanggup membayar biaya sertifikasi.

Ketiga, dari segi proses dan prosedur juga perlu ada simplifikasi, kepastian, serta efisiensi waktu untuk mendapatkan sertifikat agar tidak berlarut-larut. Proses dan prosedur sertifikasi yang lama dan berbelit-belit sering menimbulkan keengganan bagi pengusaha. Hal ini terjadi, misalnya, dalam kasus mendapatkan sertifikat hak cipta/hak paten suatu produk inovatif yang di Indonesia kerap memakan waktu bertahun-tahun sehingga menghambat para pemikir kreatif Indonesia untuk berinovasi dan mematenkan produk hasil temuannya.

Keempat, standardisasi dan sertifikasi harus dilaksanakan oleh institusi yang kredibel, memiliki kapasitas, dan kompetensi yang memadai. Beberapa BUMN, misalnya, yang sudah memiliki pengalaman dalam pemberian sertifikasi dan mempunyai fasilitas laboratorium yang terjamin untuk melakukan pengujian kualitas dan kelayakan suatu produk, sudah semestinya diberdayakan. Hal ini bukan hanya akan meningkatkan jaminan kualitas dari produk yang disertifikasi, melainkan juga mempercepat dan memperluas proses sertifikasi berbagai macam produk barang dan jasa yang sangat luas pasarnya di Indonesia, selain juga mengurangi beban pemerintah, terutama dalam hal pengawasan.

Dengan adanya langkah antisipatif dari pemerintah, berbagai hambatan dalam proses standardisasi dan sertifikasi yang dapat mendistorsi tujuan utamanya dapat diminimalisasi. Dengan demikian, di satu sisi, dapat tercipta lingkungan yang kondusif bagi dunia usaha, tidak hanya usaha berskala besar, tetapi juga yang mikro, kecil, dan menengah sehingga dapat bersaing secara sehat di era Masyarakat Ekonomi ASEAN yang tinggal satu tahun lagi. Sementara, di sisi lain, konsumen Indonesia yang besar jumlahnya pun dapat terlindungi dengan mengonsumsi barang dan jasa yang tidak hanya kompetitif dalam hal harga, tetapi juga terjamin kualitasnya.

Mohammad Faisal

Pengamat Ekonomi dan Peneliti Senior di Center of Reform on Economics Indonesia.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement