Rabu 18 Jun 2014 15:00 WIB

Derita Janda di Rumah Ambruk

Red:

Siti Julaiha duduk termenung di depan reruntuhan bangunan rumahnya. Tatapan matanya kosong. Ia terlihat masih shock mendapati rumahnya di Kedaung, Kecamatan Pamulang, Tangerang Selatan, luluh lantak diamuk angin kencang, Jumat (12/6) malam.

Rumah yang menjadi tempatnya dan tiga anaknya bernaung tidak kuat menahan terpaan angin dan hujan yang datang. Saban hari, ia bekerja sebagai buruh mencuci baju. Ia memiliki dua anak kembar berusia 15 tahun. Mereka tidak sekolah ataupun bekerja. Anak tertuanya menjadi pedagang kecil di pasar dengan hasil uang yang tak tentu.

Ika, demikian ia biasa disapa, mengaku penghasilannya sebagai buruh cuci tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari. "Enggak seberapa, cuma Rp 400 ribuan sebulan," kata dia dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.

Kondisi Ika diperparah lantaran ia juga menderita stroke. Sejak suaminya meninggal dunia, ia harus membanting tulang sendiri demi menghidupi keluarga. "Semenjak sakit (stroke), kalau ada, ya makan. Kalau enggak, ya enggak makan seharian," ucap dia.

Ismalia, salah satu anak Ika, mengaku, jika ada rezeki ia membawakan nasi untuk ibu dan adik-adiknya. "Saya juga susah, suami tukang ojek. Kadang kasihan sama Emak, mau bantu," ujarnya. Ismalia adalah satu-satunya anaknya yang telah berkeluarga dan menetap di Depok. Sehingga, saat kejadian, ia sedang tidak ada di rumah.

Dinding rumah Ika terbuat dari tripleks. Lantainya masih tanah yang dilapisi spanduk bekas. "Spanduknya ya saya ambil dari mana saja. Ya kadang buat shalat mau alasnya (yang) bersih," kata Ika.

Di dalamnya tidak banyak benda berharga. Dipan untuk tidur, kata Ismalia, adalah pemberian tetangga. "Daripada dibuang, mending buat keluarga saya saja," kata Ismalia.

Sedangkan, kamar mandi hanya dialasi papan kayu. "Kami enggak punya septic tank, jadi langsung ke selokan samping rumah saja buangnya," ucap dia.

Rumah Ika berdiri di atas tanah seluas 50 meter dan dekat dengan selokan. Bila musim hujan tiba, air meluap hingga masuk ke dalam rumah. Ika dan keluarga menerima keadaan seperti itu.

Rumah Ika memang sudah lama doyong. Guna memperkuat pondasi, Ika mengikatnya ke pohon nangka di dekat rumah dengan tali ala kadarnya. Ika mengatakan, rumah yang sudah dihuni sejak 1993 itu memang sudah hampir roboh.

Ika menjelaskan, tanah tersebut sudah menjadi miliknya. Hanya saja, ketika ia mengurus surat tanahnya ke kelurahan setempat, malah dipersulit. "Ibu kalau mau ada surat, uang dulu Rp 2 juta," kata Ika menirukan pernyataan oknum kelurahan setempat. Saat itu, Ika mengaku kebingungan lantaran tidak memiliki uang.

Hingga hari ini ia mengaku belum memegang surat tanah tersebut. Ia takut bila ia meninggal dunia, keluarganya tidak memegang harta waris apa pun karena surat tanah masih ditahan. Ika kini berharap bisa mendapat bantuan dari pemerintah untuk membangun kembali rumahnya.rep:c77 ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement