Rabu 11 Jun 2014 22:11 WIB

KPU Siapkan 2 Alternatif Terkait Penentuan Presiden dan Wapres Terpilih

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Contoh surat suara Pemilihan Umum Presiden 2014.
Foto: antara
Contoh surat suara Pemilihan Umum Presiden 2014.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang pakar politik, ahli hukum dan penggiat pemilu untuk membahas aturan penentuan presiden dan wakil presiden 2014.

Pembahasan melalui diskusi kelompok terfokus itu untuk menentukan apakah sebaran suara provinsi diabaikan atau dipakai dalam penentuan presiden dan wakil presiden terpilih.

Tim ahli yang didatangkan KPU antara lain, guru besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, peneliti LIPI Syamsuddin Haris dan Siti Zuhro. Ada juga pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, dan pengamat pemilu dari Universitas Diponegoro Hasyim Asy'ari. 

Hadir juga penggiat pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).

Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, berdasarkan diskusi tersebut KPU akan menyiapkan dua alternatif. Pertama, mengajukan uji tafsir kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang aturan penentuan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU Pilpres Nomor 42/2008.

"Kedua, KPU akan menegaskan dalam peraturan KPU sebagai kekuatan hukum yang akan dipakai dalam penentuan hasil pemilu presiden. Akan kami putuskan dalam rapat pleno dua hari ke depan," kata Ida, di Jakarta, Rabu (11/6).

Pasal 6A UUD 1945 menjelaskan mengenai pemenang pilpres. Yaitu, pasangan yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilu. Dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Regulasi soal sebaran suara di provinsi juga tertuang dalam UU Nomor 42/2008 tentang Pilpres. Dalam pasal 159 ayat 1 disebutkan, pasangan calon terpilih mesti memperoleh suara lebih dari 50 persen. Serta harus memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setidaknya separuh dari total provinsi di Indonesia.

Ramlan Surbakti mengatakan, saat terlibat dalam penyusunan undang-undang, Indonesia mengadopsi aturan pemilihan presiden Nigeria. Yaitu, menggabungkan hasil perolehan suara nasional dan sebaran suara sesuai wilayah dalam menentukan presiden dan wakil presiden terpilih.

Karena, Nigeria dipandang memiliki kemiripan dengan Indonesia dalam hal kemajemukan penduduknya. "Maksudnya supaya capres tidak hanya kampanye di daerah yang padat, karena penduduk menumpuk di Pulau Jawa. Padahal Pulau Jawa itu hanya satu per lima dari wilayah Indonesia," ujar Ramlan.

Menghadapi pilpres yang hanya diikuti dua pasangan, menurut Ramlan, kemungkinan tidak terpenuhinya syarat sebaran provinsi memang sangat kecil. Namun, kemungkinan sekecil apa pun harus diantisipasi. Setidaknya, untuk mengantisipasi gugatan dari kedua pasangan calon.

Ramlan menyarankan, KPU harus membangun kesepakatan dengan dua pasangan calon. Lengkap dengan berita acara yang ditandatangani kedua pasang calon dan KPU. Kemudian, menuangkannya dalam PKPU.

"Jadi PKPU 21 tentang rekapitulasi hasil pilpres direvisi disesuaikan dengan alternatif apa yang diambil KPU dalam penentuan presiden dan wakil presiden terpilih," jelas Ramlan.

Zainal Arifin Mochtar mengatakan, secara kontekstual KPU memang harus membawa persoalan tersebut ke MK. Meski pun diragukan MK akan memutuskan berdasarkan kondisi pilpres yang hanya diikuti dua pasangan.

Irman Putra Sidin menambahkan, KPU harusnya bisa menyelesaikan sendiri tanpa meminta penafsiran MK. Sebagai lembaga negara yang independen, KPU jangan mengambil kesimpulan dengan meminta bantuan dari lembaga negara lainnya.

"Sebenarnya kalau dibaca UUD 1945, UU Pilpres, dan PKPU tidak ada yang bertentangan. Tinggal menganalisis potensi realitas yang muncul. Toh potensi gugatan juga akan tetap ada kalau pun MK mengeluarkan penafsiran nantinya," kata Irman.

Syamsuddin Haris mengatakan, dua pasangan calon presiden membuat potensi tidak terpenuhinya syarat sebaran provisi sangat kecil.

"Intinya, Pasal 6A ayat 3 memang mesti dipenuhi dan kemungkinan dipenuhi itu sangat tinggi atau sebaliknya. Kalau pun tidak terpenuhi, kembalikan ke MK," ujarnya.

Siti Zuhro mengemukakan, KPU memegang wewenang untuk menentukan aturan yang dipakai. Namun, KPU juga harus mengkomunikasikan dengan pasangan calon, penggiat pemilu sebagai perwakilan masyarakat, dan media massa.

Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, akan memasukkan uji tafsir pasal 159 ayat 1 UU 42/2008 dan pasal 6A dan 28 D UUD 1945 ke MK. 

"Kami tidak menginginkan pembatalan murni tetapi meminta pasal itu conditionally constitutional terhadap pasal itu. Dengan konteks pasangan calon hanya dua pasangan ini kami menginginkan kepastian hukum," kata Fadli. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement