Rabu 11 Jun 2014 15:19 WIB

UU Pilpres Multitafsir, KPU Baru Undang Tim Ahli

Rep: Ira Sasmita/ Red: A.Syalaby Ichsan
Hadar Navis Gumay
Hadar Navis Gumay

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang akademisi dan ahli politik, tata negara, dan pakar konstitusi untuk membahas UU Pemilu Presiden nomor 42 tahun 2008. KPU membahas apakah sebaran suara provinsi diabaikan atau dipakai dalam penentuan presiden dan wakil presiden 2014 terpilih.

"Jadi kami perlu membahas dengan para ahli dan akademisi, bagaimana menafsirkan aturan konstitusi dan UU Pilpres tentang penentuan presiden dan wakil presiden terpilih. Aturan yang ada kan tidak hanya berdasarkan perolehan 50 persen lebih suara nasional, tetapi juga sebaran perolehan suara di provinsi," kata Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay, di Hotel Oria, Jakarta, Rabu (11/6).

Tim ahli yang didatangkan KPU antara lain, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Ramlan Surbakti, peneliti politik LIPI Syamsuddin Haris dan Siti Zuhro. Ada juga pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, dan pengamat pemilu dari Universitas Diponegoro Hasyim Asy'ari. Hadir juga penggiat pemilu dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).

Menurut Pasal 6A UUD 1945 disebutkan pasangan capres dan cawapres yang mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam pemilih umum dengan sedikitnya 20 persen di setiap provinsi.Yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.

Regulasi soal sebaran suara di provinsi juga tertuang dalam UU Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam Pasal 159 ayat 1 disebutkan bahwa pasangan calon terpilih mesti memperoleh suara lebih dari 50 persen dan harus memperoleh sedikitnya 20 persen suara di setidaknya separuh dari total provinsi di Indonesia.

Hanya saja, pada pilpres 2014 ini kontestasi hanya diikuti dua pasangan calon. Padahal, aturan tentang penentuan pemenang berdasarkan syarat perolehan nasional dan sebaran provinsi dibuat dengan perkiraan pilpres diikuti lebih dari dua pasangan. Ketika syarat perolehan suara tidak terpenuhi pada putaran pertama, maka dilakukan putaran kedua pilpres. 

Hasil diskusi dari tim ahli, menurut Hadar akan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK). Untuk meminta penafsiran dari aturan konstitusi dan UU Pilpres tersebut.

"Karena ini cuma dua pasangan calon, ini kan multitafsir akhirnya pendapatnya ada beda. Jadi kami kira KPU harus memastikan dengan cara diskusi dengan para ahli Rabu nanti dan akan menulis surat kepada MK untuk meminta tafsir MK tentang pasal konstitusi itu," jelas Hadar. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement