Rabu 11 Jun 2014 13:00 WIB
properti

Nasib Hunian Berimbang

Red:

Salah satu penyebab semakin besarnya jurang perbedaan antara kebutuhan perumahan dengan kebutuhan yang terpenuhi adalah masih minimnya penyediaan pasokan rumah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Dalam satu tahun, rata-rata pasokan rumah untuk MBR hanya sekitar 200 ribu unit. Masing masing, menurut target Real Estate Indonesia (REI), sekitar 120 ribu unit serta target Asosiasi Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) sekitar 100 ribu unit.

Padahal, dalam setahun kebutuhan rumah bagi masyarakat bertambah sekita 600 ribu unit. Artinya, ada selisih sekitar 400 ribu yang dapat menambah angka backlog perumahan di Indonesia.

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) melalui aturan hunian berimbang yang dikeluarkannya dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat No 7 Tahun 2013 pengganti Permen No 10 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman dengan Hunian Berimbang berupaya mendorong pasokan rumah untuk MBR.

Melalui skema hunian berimbang ini, pengembang yang memiliki proyek perumahan minimal 50 unit harus menerapkan konsep 1:2:3. Yaitu satu rumah mewah, dua rumah menengah, dan tiga rumah MBR. Melalui aturan ini, Kemenpera berharap, pengembang tetap menjaga pasokan rumah untuk MBR yang dinilai masih sedikit.

Namun, selama ini, pemerintah mengklaim pengembang masih enggan melaksanakan aturan tentang hunian berimbang ini. Sejak diterbitkan dua tahun lalu, pemerintah merasa belum melihat adanya niat pengembang untuk patuh pada aturan yang sudah dibuat untuk mengurangi angka backlog perumahan.

Bahkan, Menteri Perumahan Rakyat Djan Faridz menilai, pengembang tidak terbuka terkait realisasi konsep hunian berimbang. Djan Faridz menegaskan, pihaknya sudah meminta Surveyor Indonesia untuk mendata hunian berimbang di Jabodetabek sejak 2013. Hingga sekarang, setahun telah lewat belum ada hasil dari pendataan ini. “Sampai sekarang belum ada hasilnya pendataan itu, alasannya macam-macam, kita kontrak itu setahun lalu,” kata Djan Faridz dalam temu media di kantornya, beberapa waktu lalu.

Menurut Menpera, pemerintah tidak membuat aturan yang menggratiskan rumah untuk MBR. Aturan itu untuk mendorong pengembang agar mau membuat rumah untuk MBR. Setelah jadi,  masyarakat juga membeli rumah itu. Bukan diberikan secara gratis. Meskipun pada 2014 pemerintah sudah tidak lagi memberi subsidi pada rumah MBR, sehingga dipastikan harganya naik dari harga saat ini.

Pemerintah juga menyesuaikan harga rumah untuk MBR dengan harga pasar yang saat ini berlaku. Menurut Djan Faridz, masyarakat hanya butuh kredit berjangka panjang dengan bunga flat untuk mendapatkan rumah.

Sulit berkembang

Ketua Apersi Eddy Ganefo menilai, konsep hunian berimbang sulit untuk direalisasikan karena menerapkan dua konsep berbeda pada satu pengembang. Satu pengembang diharuskan membangun rumah mewah dan rumah untuk MBR sekaligus. Bagi pengembang yang memang fokus pada pembangunan MBR memang lebih mudah.

Karena tidak diharuskan membangun rumah mewah untuk menerapkan konsep hunian berimbang. Hanya saja, bagi pengembang besar yang sudah membangun rumah mewah, akan kesulitan. Selain karena faktor keuntungan yang lebih sedikit, hal ini akan berpengaruh pada citra pengembang besar yang sudah dikenal sebagai pengembang rumah mewah. “Secara psikologis, jika mereka bangun rumah murah dengan perusahaan yang sama maka akan berpengaruh ke nama besar perusahaan, apalagi jika perumahan murah tersebut menjadi kumuh, misalnya,” kata Eddy Ganefo.

Saat ini, konsep hunian berimbang memang jalan di tempat. Selain secara psikologis masih sulit diterapkan, realisasinya di lapangan belum ada tindakan tegas dari pemerintah bagi  yang terbukti melanggar dan tidak melaksanakan aturan ini. Meskipun, dalam aturan yang baru terjadi revisi bahwa pengembang diperbolehkan membangun rumah murah bukan dalam satu kawasan dengan rumah mewah, asalkan masih dalam satu provinsi. Tapi, faktanya, menurut Eddy, pengembang banyak yang masih enggan untuk membangun rumah murah untuk MBR ini.

Menurutnya, salah satu solusi yang tepat untuk merealisasikan konsep hunian berimbang ini adalah adanya kerja sama antara pengembang besar dengan pengembang kecil. Ini dapat diwujudkan untuk membangun rumah sesuai dengan kapasitasnya masing-masing, antara pengembang besar yang membangun rumah mewah dengan pengembang kecil yang membangun rumah untuk MBR. “Hunian berimbang ini bisa diwujudkan jika ada kerja sama antara pengembang rumah mewah dan pengembang rumah murah,” imbuh Eddy Ganefo.

Ketua DPP REI Eddy Hussy mengatakan, konsep hunian berimbang sudah tidak dapat direalisasikan di kota besar, seperti Jakarta. Sebab, tanah di Jakarta sudah sangat langka. Yang paling baru, pemerintah menganjurkan untuk membangun rumah susun agar kebutuhan tempat tinggal MBR terpenuhi. Pemerintah tidak akan memberi subsidi bagi pembangunan rumah tapak mulai tahun 2014 nanti.  Meskipun, target REI masih sama yaitu membangun rumah tapak untuk MBR sebanyak 120 ribu unit tahun ini. Artinya, subsidi rumah MBR dengan skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) hanya tinggal satu tahun lagi dilaksanakan.

Rumah MBR bukan mengacu pada patokan FLPP, melainkan rumah murah yang pembangunannya akan jalan terus. "Misal, 100 ribu rumah MBR yang bisa masuk FLPP hanya 58 ribu, sisanya harganya diatas harga FLPP,” kata Eddy Hussy.

Dengan harga rumah MBR yang baru, tambah Eddy, FLPP kemungkinan hanya dapat dinikmati sebanyak 20-30 persen dari total yang dibangun REI 120 ribu unit. Sisanya, sekitar 70-80 persen akan tidak menggunakan harga FLPP.  rep:agus raharjo ed: hiru muhammad

Mention Yukk, Satu jenis kosmetik yang ada di Meja rias Kamu!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement