Jumat 06 Jun 2014 13:00 WIB
tuntunan

Misteri Harta Karun dalam Islam

Red:

Harta yang terpendam di perut bumi sering diistilahkan dengan harta karun. Kebanyakan orang berpendapat, harta tersebut merupakan peninggalan dari Karun, salah seorang dari umat Nabi Musa yang ditelan bumi bersama hartanya karena enggan membayar zakat.

Harta yang terpendam di dalam Islam diistilahkan dengan rikaz. Ada istilah lain yang hampir sama dengan rikaz, yaitu 'ma'adin(tambang atau sumber barang tambang) dan kanz.

Ulama mazhab Hanafi mengartikan rikaz sebagai seluruh harta yang terpendam dalam tanah, baik keberadaan harta itu atas kehendak Allah SWT, seperti bijih besi, emas, dan perak, maupun yang disimpan manusia zaman dahulu, seperti harta karun. Dalam pengertian ini, rikaz dan ma‘adin mempunyai arti yang sama. Tidak ada perbedaan antara status harta yang dipendam manusia dan harta yang berupa barang tambang.

Namun, jumhur ulama membedakan antara rikaz dan ma'adin. Para ulama mendefinisikannya berdasarkan orang yang menyimpan atau memendam harta. Rikaz adalah harta terpendam yang disimpan orang terdahulu (pada masa Jahiliah), sedangkan ma'adin adalah harta terpendam yang disimpan oleh orang yang telah memeluk agama Islam. Sedangkan, kanz adalah harta terpendam yang tidak dibedakan siapa yang menyimpannya.

Pakar fikih kontemporer dari Suriah, Wahbah az-Zuhaili, mendefinisikan kanz sebagai harta yang disimpan orang di dalam tanah, baik oleh orang sebelum masa Islam maupun pada masa Islam. Pembedaan antara keduanya dapat ditentukan melalui ilmu arkeologi. Bila harta itu tidak dapat diidentifikasi, menurut sebagian ulama mazhab Hanafi, harta itu dianggap sebagai harta yang disimpan sebelum Islam masuk ke daerah itu. Tapi, sebagian ulama mazhab Hanafi lainnya berpendapat bahwa harta itu dianggap sebagai harta yang disimpan setelah daerah itu dikuasal Islam.

Lebih lanjut, dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan, istilah rikaz, ma'adin, dan kanz dibahas dalam persoalan sebab-sebab pemilikan suatu barang. Menurut ulama mazhab Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali, harta rikaz boleh dimiliki penemunya, tetapi apabila pada kemudian hari diketahui pemiliknya, ia wajib mengembalikan gantinya.

Untuk harta ma'adin, ulama mazhab Maliki berpendapat, seluruh bentuk harta ma'adin tidak bisa dimiliki seseorang, melainkan menjadi milik negara karena seluruh tanah dikuasai negara untuk kepentingan bersama. Adapun ulama dari mazhab Hanafi mengatakan, harta ma'adin dapat dimiliki seseorang apabila tanah yang menyimpan harta itu miliknya. Jika tanah itu milik negara, harta terpendam di dalamnya menjadi milik negara dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.

Apabila harta terpendam itu terdapat dalam tanah yang tidak dimiliki seseorang maupun negara, maka harta itu menjadi milik orang yang menemukannya.

Untuk harta kanz, menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila harta itu disimpan orang setelah Islam menguasai daerah tersebut, maka harta itu tidak boleh dimiliki penemunya. Harta ini dianggap berstatus luqatah (harta temuan) yang wajib diumumkan di tengah-tengah masyarakat agar diketahui pemiliknya serta dapat dikembalikan kepadanya.

Apabila pemiliknya tidak diketahui, harta itu disedekahkan kepada fakir miskin untuk mereka manfaatkan. Namun harta kanz yang berasal dari zaman jahiliah, menurut kesepakatan para ulama fikih, boleh diambil penemunya.

Terkait dengan harta terpendam ini adalah persoalan zakat. Menurut jumhur ulama, yang dikenakan zakat adalah harta yang bersifat rikaz, yaitu harta terpendam yang berasal dari zaman Jahiliah karena harta itu menjadi milik penemunya. Sedangkan harta yang bersifat ma'adin seperti emas, perak, besi dan tembaga, tidak dikenakan zakat karena harta itu menjadi milik negara.

Menurut ulama mazhab Hanafi, harta rikaz dikenakan zakat dengan jumlah seperlima dari harta dan sisanya bagi orang yang menemukan harta tersebut. Alasan mereka adalah sabda Rasulullah SAW, "Terhadap harta rikaz itu (dikenakan zakat) seperlima harta." (HR Jamaah ahli hadis dari Abu Hurairah).

Namun, mereka membedakan antara rikaz yang bersifat beku yang harus diolah (emas, perak, besi, dan tembaga) dengan harta yang bersifat cair, seperti minyak dan gas. Untuk harta yang bersifat beku, dikenakan zakat, sedangkan harta yang bersifat cair tidak dikenakan zakat.

Untuk harta yang bersifat kanz yang berasal dari zaman Jahiliah, menurut kesepakatan para ulama fikih, wajib dikeluarkan zakat sebesar seperlima bagian untuk perbendaharaan negara. Sisanya, menurut sebagian ulama, adalah untuk penemu, baik ditemukan di tanah yang telah dikuasal seseorang maupun di tanah yang sama sekali belum dimiliki orang.

Sebagian ulama lain menyatakan, jika harta itu ditemukan di tanahnya sendiri atau di tanah yang belum dikuasai seseorang, sisa harta itu menjadi miliknya. Apabila ditemukan di tanah yang telah dikuasai seseorang, sisa harta itu untuk pemilik pertama dari tanah itu, jika masih hidup, atau untuk ahli warisnya. Apabila pemilik atau ahli warisnya tidak dikenal lagi, sisa harta itu menjadi milik negara. ed: hafidz muftisany

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement