Kamis 05 Jun 2014 13:00 WIB

Pelanggaran Terkonsentrasi pada Tahap Pemungutan dan Penghitungan Suara

Red:

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sudah selesai dilaksanakan 9 April silam. Penyelenggara Pemilu merupakan aktor penting untuk memastikan proses dan hasil Pemilu yang demokratis. Pe negakan etika merupakan elemen penting untuk menjaga kepercayaan tersebut.

Pasca-Pemilu Legislatif, terhitung sampai 30 Mei 2014, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menerima pengaduan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu sebanyak 468 perkara dengan 113 perkara di antaranya dinyatakan masuk sidang. Pengaduan yang masuk hampir seluruhnya merupakan kasus-kasus tuduhan kepada penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, dalam melaksanakan tahapan pemungutan dan penghitungan suara dalam Pemilu Legislatif 2014 ini, seperti penggelembungan suara, pengurangan dan penambahan suara, tidak diberikannya formulir C1 kepada saksi, ataupun tidak adanya tanda tangan saksi di TPS.

“(Dugaan pelanggaran selama) Pemilu legislatif jauh lebih masif dibanding saat Pemilu kepala daerah,” sebut anggota DKPP Nur Hidayat Sardini di Jakarta, akhir Mei silam. Berikut petikan wawancara dengan Nur Hidayat terkait deng an pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

Bagaimana modus pelanggaran kode etik yang terja di dalam Pe milu legislatif lalu?

Dilihat dari laporan yang sejauh ini masuk, pelanggaran terkait soal penggelembungan suara atau pergeseran suara dari caleg satu ke caleg yang lainnya. Ada soal tukar-menukar. Bi sa saja itu dilakukan karena ada kesepakatan (antar-caleg), tapi bisa juga tidak. Keteledoran mungkin saja terjadi, meski kemungkinannya lebih kecil. Motif pasti ada dan uang menjadi motif yang paling menonjol. Pemilu menjadi magnet untuk bermain.

Apakah semua dugaan pelanggaran mengumpul di rekapitulasi suara?

Saya memilah tahapan pemungutan dan penghitungan suara men jadi empat kegiatan: pemungutan suara, penghitungan suara, rekapitulasi suara, dan penetapan hasil. (Dugaan pelanggaran) Terbanyak terjadi pada rekapitulasi suara dan penetapan hasil. Tren nya cenderung meningkat.

Adakah persamaan kasus dalam Pemilu kepala daerah dengan Pemilu legislatif?

Yang menjadi kesamaan adalah soal keberpihakan dengan banyak motif. Ada yang motifnya persaudaraan, solidaritas, atau perkawanan. Menurut saya, motif uang yang paling besar. Ada juga intimidasi. Kalau dalam Pemilu kepala daerah, aktornya lebih sedikit. Saat ini cenderung menyebar. Aktornya jauh lebih beragam. Unit pelaku terletak pada perorangan, bukan parpol. Basisnya individu, bukan kelembagaan. Saat ini uang jauh lebih masif ketimbang saat Pemilu kepala daerah.

Lantas, dengan ketegasan DKPP selama ini, apakah efek jera sudah terlihat efektif?

Benar bahwa mereka, para penyelenggara Pemilu takut kepada DKPP. Akan tetapi karena takut bukan berangkat dari kesadaran, ada saja yang mencoba “kucing-kucingan”. Mereka tahu kalau ada hal yang tidak boleh dilakukan. Ini terutama karena orang ingin menggunakan kesempatan Pemilu untuk mengeruk materi. Peristiwa demokrasi menjadi peristiwa ekonomi.

Ukuran keberhasilan DKPP tentu bukan sekadar banyaknya kasus, bukan?

Proses itu butuh waktu. (Penyeleng gara Pemilu) Takut dulu (kepada DKPP) tidak apa-apa, sambil terus kita kampanyekan soal penegakan etika. Penindakan tentu tidak boleh mengesampingkan pencegahan; keduanya harus dilakukan dalam satu tarikan nafas. Seseorang melanggar kode etik karena banyak sebab. Tugas tiaptiap lembaga untuk mengefektifkan pembinaan internal, mengoptimalkan fungsi inspektorasi. Dalam pertemuan tripartit (dengan KPU dan Bawaslu), kami sampaikan bahwa jika hendak melihat cerminan penyelenggara Pemilu di daerah, lihat saja sidang-sidang DKPP. Ke depan, ki ta harus terus ber upaya meningkatkan kualitas, mempertegas perbaikan sistemik, perbaikan daya dukung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement