Kamis 22 May 2014 23:58 WIB

Ketika Beringin Muda Merasa Kecewa

Rep: Andi Ikhbal/ Red: Mansyur Faqih
Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri memimpin upacara di Taman Makam Pahlawan Nasional, dalam rangka hari lahir Partai Golkar ke-49, Kalibata, Jakarta, Ahad (20/10).
Foto: Adhi Wicaksono
Ketua Umum Partai Golkar, Aburizal Bakri memimpin upacara di Taman Makam Pahlawan Nasional, dalam rangka hari lahir Partai Golkar ke-49, Kalibata, Jakarta, Ahad (20/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selasa (20/5), belasan kader muda Partai Golkar yang menamakan diri Forum Paradigma Gerakan Muda Indonesia (FGMNI) melakukan pertemuan, di Rumah Makan Sari Kuring, SCBD, Jakarta Pusat. Pertemuan yang mengundang awak media itu menggalang persatuan menolak titah sang ketua umum Aburizal Bakrie (Ical).

Ica telah menaruh kepercayaan partai terhadap duet Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang diusung Gerindra, PAN, PKS, PPP dan PBB. Kaum muda tak rela Golkar harus mengikhlaskan tak mengusung capres dan cawapres. Padahal, memiliki suara 18.432.321 (14,75 persen) pada pileg lalu. Angka itu di atas Gerindra yang mendapatkan perolehan suara 14.760.371 (11,81 persen).

"Partai Golkar itu besar, tapi terlihat mengkerdilkan diri dalam pengambilan keputusannya yang tidak begitu jelas. Tidak ada satu penjelasan yang runut dari DPP Partai Golkar, dan ada transaksi dan membuat kita malu," kata Ketua Badan Litbang DPP Golkar, Indra J Piliang, Selasa (20/5).

Transaksi apa? Kaum muda mendengar Prabowo menawarkan Ical pejabat utama yang mengurusi bidang perekonomian. Sontak mereka mengecam tawaran yang direspon baik itu. Mandat bagi kaum muda tetap menginginkan Ical menjadi capres atau cawapres. Lain, tidak.

Kaum muda curiga Golkar sudah tidak lagi memegang arti demokrasi. Namun lebih ekslusif dan hanya mendengar segelintir pendapat elite saja. Alhasil, koalisinya ke Gerinda berujung tanpa adanya alasan yang jelas.

"Memang hanya sepihak yang diputuskan elitenya saja," kata Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) DPP Partai Golkar Andi Harianto Sinulingga.

Pendapat lebih ekstrem dikemukakan Pengurus DPP Golkar Bidang Kaderisasi, Hasanuddin. Menurut dia, Ical telah dibohongi oleh timnya sendiri. Karena sebenarnya, orang dekat Ical dianggap tidak ingin ia menjadi capres atau cawapres. 

Pola ini dimainkan oleh Demokrat dengan memasukkan Idrus Marham yang dinilai dekat dengan Ani Yudhoyono. Idrus dianggap mendapat restu 'ibu negara' untuk menjadi Sekjen DPP Partai Golkar.

Hasanuddin mengatakan, ajang penyelamatan diri dilakukan Demokrat (keluarga Cikeas) dengan memasang besannya, Hatta Rajasa menjadi cawapres koalisi Gerindra. Imbasnya, Poros ketiga (Koalisi Demokrat-Golkar) yang sempat didengungkan, bubar di tengah jalan tanpa ada alasan yang jelas.

Padahal, jika poros ketiga itu jadi, maka pamor Hatta Rajasa akan turun di Sumatra. Ia kalah oleh Akbar Tanjung dan Ical. 

"Ical sadar, bahwa apa yang selama ini dia terima sebagai informasi penting dari orang sekitarnya ternyata tidak benar. Dia juga telah masuk jebakan dari lawan-lawan politiknya yang memanfaatkan orang-orang terdekatnya," kata Hasanuddin.

Namun, beringin muda malah mendapat peringatan pemecatan jika tidak taat aturan partai. Isu itu terus berkembang sehingga tokoh Golkar merasa perlu berbicara mengenai tindakan yang dilakukan kaum muda. 

Pro dan kontra muncul. Wasekjen DPP Golkar, Musfihin Dahlan menilai apa yang dilakukan mereka merupakan imbas tindakan partai yang memaksakan kehendak sendiri. Ia pun mengecam adanya informasi pemecatan itu.

Musfihin berpendapat, dalam Golkar tidak ada pemecatan yang didasari perbedaan pendapat. Kaerna Golkar merupakan organisasi besar yang memiliki cara elegan untuk menyelesaikan masalah. "Jangan main asal pecat, Golkar bukan perusahaan," kata dia.

Senada dengan Musfihin, Wasekjen Partai Golkar, Nurul Arifin meminta kepada partai untuk memberikan kebebasan kepada kaum muda. Karena tindakan tersebut merupakan hak dari kader. Sebagaimana hak untuk menentukan sikap politiknya. 

Nurul memilih menyelesaikannya secara alamiah. Pertimbangannya, kaum pembelot titah pimpinan itu akan sadar dan kembali ke Golkar. "Ini hanyalah pergolakan politik yang wajar. Mereka merupakan keluarga Golkar. Buat apa ribut dengan keluarga sendiri. Nanti juga kembali ke rumahnya (Golkar) lagi," kata dia.

Ketua Dewan Pertimbangan Golkar, Akbar Tanjung berpendapat beda. Ia tetap berpendirian bahwa segala keputusan Ical harus ditaati sebagai mandat dari rapimnas VI. Ia pun meminta agar DPP Golkar melakukan pendekatan untuk mengubah pemikiran kaum muda tersebut.

Jika tetap bersikukuh dengan pendapatnya, Akbar tak menampik adanya sanksi dari partai. "DPP Golkar harus memberitahu dan peringatan bahwa ada keputusan rapimnas. Tapi kalau masih juga, kita serahkan ke DPP untuk melihat derajat kualitas kesalahannya untuk menjatuhkan sanksi," kata dia. 

Pendapat Akbar ini sontak memunculkan polemik berkepanjangan. Tokoh senior Luhut B Panjaitan bahkan menyatatakan mundur dari Golkar.

Keluarnya Luhut memicu tokoh tua Golkar untuk bertindak. Sebanyak 23 tokoh senior berkumpul di JW Marriott membicarakan polemik yang terjadi di internal.

Wakil Ketua Umum Golkar, Agung Laksono menegaskan, agar partai merangkul kader yang tidak sepakat dengan keputusan rapimnas. Bukan dengan sejumlah ancaman yang dikeluarkan. "Tidak perlu ada ancaman. Selesaikan masalah dengan elegan. Bangun juga bangun citra yang positif di publik," kata dia.

Kisruh Golkar belum menemui titik penyelesaian. Beringin muda dan tua saling berjibaku untuk menohok keputusan Ical dan elite Golkar. 

Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi mengatakan, kisruh Golkar merupakan hal biasa dan sudah terjadi sejak 1999. Ketika itu terbagi antara dua faksi. Yakni sipil yang dipimpin Akbar Tanjung dan militer yang dipimpin Edi Sudrajat.

Pada 2004, Golkar juga terbelah menjadi faksi saudagar kaya yaitu JK, Ical, dan Surya Paloh. Serta faksi militer yang dipelopori Wiranto dan Prabowo. 

Saudagar kaya menjadi faksi yang tetap bertahan hingga sekarang karena punya basis kapital yang berpengaruh. Namun pada 2014, kisruh menguat karena Golkar kehilangan harga diri. "Dalam pemilu tidak calonkan siapa pun. Kalau ada mereka biasa saja. Partai besar tapi tidak ajukan capres," kata dia.

Titik inilah yang menjadi tolak ukur kekesalan kader. Karena Golkar merupakan partai paling dinamis sepanjangan sejarah perpolitikan nasional.

Lantas bagaimana dengan pemecatan? Menurut Pangi, Ical harus membuktikan dirinya tegas sebagai ketua umum. Jika tidak ia akan dianggap bermain dua kaki.

Masalahnya, Ical sudah menentukan sikap untuk mendukung Prabowo-Hatta. Karenanya, secara garis kepartaian, kader setidaknya taat dengan ketua umum, apalagi sudah melewati Rapimnas. "Memang harus dipecat, jika tidak dipecat akan timbul interaksi sendiri di dalam partai. Takutnya tidak all out," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement