Senin 19 May 2014 20:04 WIB

Pelajaran PAI akan Ditopang Ekstrakulikuler

Rep: c78/ Red: Asep K Nur Zaman
Suasana pendidikan di Sekolah Dasar (ilustrasi)
Foto: Imam Budi Utomo/Republika
Suasana pendidikan di Sekolah Dasar (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — Pendidikan Agama Islam (PAI) masih menjadi mata pelajaran kelas dua (second study) dalam sistem pendidikan nasional. Dengan waktu pembelajaran yang diberikan cukup sempit -- hanya empat jam bagi sekolah dasar (SD) dan tiga jam saja untuk SMP/SMA setiap pekannya -- Kementerian Agama (Kemenag) memandang jalur ekstrakulikuler perlu digalakkan untuk menanamkan lebih dalam nilai-nilai akhlak dan akidah kepada peserta didik.

“Kegiatan ekstrakulikuler yang paling tepat untuk optimalisasi materi keagamaan,” kata Amin Haedari, direktur Pendidikan Agama Islam pada Sekolah, Ditjen Pendidikan Islam, Kemenag, kepada Republika, Senin (19/5).

Menurut dia, kekuatan pendidikan agama bukan berada dalam aspek formal melainkan non-formal. Untuk itu materi PAI harus lebih banyak kepada praktik daripada materi.

 

“Misalnya shalat dan mengaji, itu pembiasaan di keseharian, bukannya pemberian teori terus-menerus,” ujar Amin. 

 

Kemenag pun tengah menyusun sistem ekstrakulikuler guna memperkuat posisi PAI. Ditjen Pendidikan Islam telah menyusun draf pedomannya bagi sekolah se-Indonesia.

 

“Kami tinggal mengajukan semacam kerja sama dan kesepahaman (MoU) antara Kemendikbud dan Kemenag, sehingga ada dokumen resmi yang akan jadi pedoman bagi sekolah se-Indonesia,” kata Amin.

 

Draf ekstrakulikuler tersebut meliputi petunjuk filosofis dan teknis bimbingan, pembinaan, pengkajian, serta diskusi agama Islam kepada siswa secara terstruktur di bawah bimbingan guru agama. Porsi yang diambil dalam pelaksanaannya adalah enam jam mata pelajaran setiap pekan.

 

“Inginnya sebelum bulan puasa sudah bisa diterapkan, atau sekitar Juni dan Juli mendatang. Diterapkan secara bertahap, jika yang sudah selesai itu SD, ya SD dulu yang kita terapkan,” tutur Amin.

 

Untuk menarik minat siswa dalam mempelajari agama Islam, konsep pendidikan PAI dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (ICT) pun dirancang. Pemberlakuannya dimulai berbarengan dengan penerapan kurikulum 2013. Sebab, menurut Amin, sekolah merupakan rumah kedua bagi siswa, dan PAI di sekolah memegang peran penting  dalam pembentukan moral mereka.

 

Untuk itu, guru agama harus mampu membuat proses pembelajaran PAI menjadi menarik agar para siswa termotivasi untuk mendalami ajaran agama Islam dengan baik dan menyenangkan. “Para guru agama sebelumnya diberi pelatihan untuk mengetahu cara-cara memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai bahan ajar,” kata Amin.

 

Dalam pemberian materi PAI berbasis ICT, lanjut dia, murid tidak diposisikan sebagai objek tapi subjek. Murid juga dilibatkan dalam diskusi juga diajak untuk turut memikirkan solusi masalah agama yang dihadapi. “Guru dilatih agar tak jadi teaching, tapi menjadi tutor sekaligus fasilitator,” tuturnya.

 

Tahun ini pula, kata dia, kementerian tengah mengembangkan PAI berkeunggulan di sekolah. Di dalamnya, seluruh sekolah didorong untuk merealisasikan ajaran agama Islam baik di dalam maupun di luar kelas.

 

“Guru, orangtua dan para pengurus sekolah diimbau untuk mencontohkan dan menerapkan pendidikan agama kepada anak dari mulai hal yang sederhana,” ungkap Amin.

 

Hal sederhana tersebut, misalnya, selalu berdoa sebelum berangkat dan pulang sekolah atau imbauan untuk menaati peraturan lalu lintas bagi para pengantar anak sekolah TK dan SD.  “Sebab, pendidikan agama itu bukan aspek kognitif, tapi lebih ke bagaimana penerapan dalam keseharian,” tegas Amin.

 

Menanggapi kasus dan pemberitaan tentang pelecehan dan kekerasan di sekolah, dia menilai hal tersebut sebagai dampak dari era keterbukaan informasi. Pengaruh eksternal seperti televisi dan internet, misalnya, memengaruhi pola perilaku anak dan memicu perilaku negatif.

 

Namun Amin tidak mau menggenaralisasi karena kasus tersebut hanya terdapat di sekolah-sekolah tertentu, dengan siswa yang tertentu pula. “Tidak semua sekolah melakukan kekerasan, itu hanya sebagian kecil saja,” tandasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement