Rabu 07 May 2014 10:44 WIB

Shafira, Bukti Ketangguhan Bisnis Mode Muslim

Rep: Desy Susilawati/ Red: Indira Rezkisari
Fenny Mustafa usai pergelaran busana Shafira.
Foto: Rakhmawaty La'lang/Republika
Fenny Mustafa usai pergelaran busana Shafira.

REPUBLIKA.CO.ID, Setelah menentukan nama label dan konsep sebuah bisnis mode, perancang sekaligus pebisnis pun harus menerapkan tata kelola bisnis yang profesional. Seperti yang dilakukan label Shafira milik perancang busana Fenny Mustafa.

Shafira terkenal sebagai salah satu pionir busana Muslimah di Indonesia. Tahun ini, merek tersebut mengukuhkan 25 tahun keberadaannya. Apa sebenarnya kunci kesuksesan label Shafira?

Mengenang awal masa berdirinya Shafira, Feny Mustafa mengatakan, kala itu hanya ada dua merek busana Muslimah di Indonesia. Berbeda dengan kedua brand lainnya, sebagai pemain ketiga Feny sengaja tak memasang namanya sebagai label.

Ia menganggap, nama Shafira mudah diingat dan diucapkan. “Pada saat itu di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, pun belum marak yang menjual perlengkapan Muslim,” ujar desainer merangkap presiden komisaris Shafira ini.

Feny banyak belajar dari perancang busana konvensional yang berhimpun di Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI). Ia mencari tahu cara menyelenggarakan pergelaran busana berikut konferensi persnya.

Feny juga aktif di sejumlah organisasi pengusaha. Aktivitas tersebut membuatnya bisa melihat dunia internasional dan ikut pameran internasional dalam berbagai event. Di sana ia mempelajari langsung cara label busana internasional menjalankan bisnisnya.

Seiring dengan bertambahnya pengetahuan Feny, ia sadar bisnis mode internasional berbeda dengan Indonesia. Label busana di Indonesia rata-rata dikelola langsung desainernya, sedangkan brand internasional memiliki manajer operasional. Feny memahami desainer semestinya berada posisi puncak di tim kreatif, bukan ujung tombak promosi dan penjualan.

Dengan manajemen bisnis seperti itu, tak heran jika label internasional bisa bertahan lama. Bahkan, ada yang desainernya atau pendirinya sudah meninggal, tapi brand-nya justru semakin berkibar, seperti Marks and Spencer dan Chanel.

Dari situ, Feny memutuskan Shafira harus dikelola seperti brand internasional. Ia tak ingin bernasib seperti label besar di Indonesia yang namaya besar dan sangat terkenal apabila desainernya sedang berada di puncak produktivitasnya, lalu turun pamor ketika desainernya sudah tak lagi produktif. “Bisnis mode yang dikelola seperti itu akan hilang pelan-pelan setelah desainernya tiada.”

Feny berpendapat, Shafira menjadi berbeda dengan label lainnya karena ide penamaan merek dan segmen pasar yang berbeda dengan desainer konvensional. Ia membidik segmen pasar Muslimah yang kala itu belum banyak digarap perancang. “Selain itu, Shafira mulai di kelola secara profesional,” jelasnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement