Rabu 16 Apr 2014 22:25 WIB

Bawaslu: Total Pelanggaran Selama Pileg Capai 3.507 Kasus

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
 Aparat keamanan melakukan sosialisasi 'Silahkan Memilih Kami Siap Mengamankan Anda' dengan cara berkeliling di daerah rawan intimidasi pemilu Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (8/4). (Antara/Rahmad)
Aparat keamanan melakukan sosialisasi 'Silahkan Memilih Kami Siap Mengamankan Anda' dengan cara berkeliling di daerah rawan intimidasi pemilu Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Selasa (8/4). (Antara/Rahmad)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyatakan total pelanggaran pileg 2014 berdasarkan laporan masyarakat dan temuan di lapangan mencapai 3.507 kasus. Terdiri dari 209 pelanggaran pidana pemilu, 3.238 pelanggaran administrasi, 42 kasus pelanggaran kode etik, dan 18 kasus di luar kategori pelanggaran pemilu.

Komisioner Bawaslu Nasrullah mengatakan, dari total pelanggaran tersebut, paling banyak terjadi pada masa sebelum hingga kampanye terbuka dilakukan. Berjumlah 3.238 pelanggaran, yang didominasi pelanggaran administrasi 2.876 kasus, pelanggaran pidana 75 kasus, dan pelanggaran etik 23 kasus

"Sisanya pada masa tenang hingga pemungutan dan penghitungan suara sebanyak 225 pelanggaran," kata Nasrullah di gedung Bawaslu, Rabu (16/4).

Menurutnya, dari pelanggaran pada saat pemungutan hingga proses penghitungan yang masih berlangsung hingga saat ini justru didominasi pelanggaran pidana. Setidaknya Bawaslu mencatat 132 pelanggaran pidana pemilu. Kemudian pelanggaran administrasi sebanyak 81 kasus, dan pelanggaran etik sebanyak 12 kasus.

Pelanggaran sebelum kampanye banyak ditemukan dengan modus pelanggaran pemasangan alat peraga. Lalu kampanye di luar jadwal, pelibatan kepala desa dalam kampanye, politik uang, dan keterlibatan pegawai negeri sipil (PNS), serta penggunaan fasilitas negara. Bawaslu juga mencatat pelaksanaan kampanye tidak mendaftarkan tim kampanye ke KPU. 

Pada masa tenang, pelanggaran bergeser pada praktik politik uang. Pelaksanaan kampanye di media massa meski dilarang, hingga aksi oknum kelompok panitia pemungutan suara (KPPS) yang berafiliasi dengan peserta pemilu.

Misalnya membagikan undangan memilih diselipi kartu asuransi atau kartu nama caleg tertentu. Bawaslu juga mencatat banyak masyarakat yang tidak mendapatkan formulir C6 untuk memilih dengan alasan kekurangan formulir model tersebut.

Pelanggaran yang merisaukan, lanjut Nasrullah, ditemukan pada saat pemungutan dan penghitungan suara. Karena pelanggaran yang dilakukan berpotensi memanipulasi hasil pemilu dan merusak integritas penyelenggara pemilu.

Modus pelanggarannya bervariasi. Seperti pemilih menggunakan formulir C6 mjilik orang lain. Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu kali. KPPS dan saksi menggunakan sisa surat suara untuk dicoblos. Serta ditemukan juga KPPS menggunakan surat suara sebelum pemungutan berlangsung. Dengan mencobloskan surat suara untuk caleg tertentu.

"Yang paling mengkhawatirkan, adanya indikasi perubahan berita acara formulir C1 di TPS yang kemudian diserahkan KPPS kepada PPS. Hasil penghitungan suara berbeda, dengan isi formulir C1 yang dimiliki saksi dan panwas," kata Nasrullah.

Saat ini, menurutnya, Bawaslu tengah melakukan langkah investigasi untuk memastikan orang-orang yang dicurigai sebagai oknum yang melakukan pengubahan tersebut.

"Ibarat besi bengkok, akan kami luruskan. Kalau memang tidak ketahuan di PPS, dikabupaten/kota, provinsi. Kalau memang ada indikasi manipulasi meski sudah di pusat, kami bisa bongkar lagi dari bawah," ujarnya.

Saat ini, di beberapa daerah menurutnya KPPS nakal telah ditangkap dan ditindaklanjuti aparat kepolisian. Bahkan beberapa kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan. Untuk segera disidangkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement