Kamis 10 Apr 2014 18:02 WIB

Tips Bertahan Sebagai Single Parent

Rep: Heri Ruslan/ Red: Indira Rezkisari
Single Parent/ilustrasi
Foto: Rusdy Nurdiansyah/Republika
Single Parent/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Siapa pun pasti tak pernah berharap menjadi orang tua tunggal (single parent). Keluarga yang lengkap dan utuh merupakan idaman setiap orang.

Namun, adakalanya nasib berkata lain. Menjadi single parent dalam sebuah rumah tangga tentu saja tidak mudah. Terlebih, bagi seorang isteri yang ditinggalkan suaminya, karena meninggal atau bercerai.

Paling tidak, dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Pakar ahli jiwa AS, Dr Stephen Duncan, dalam tulisannya berjudul The Unique Strengths of Single-Parent Families mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin orangtua tunggal adalah masalah anak. Anak, paparnya, akan merasa dirugikan dengan hilangnya salah satu orang yang berarti dalam hidupnya.

''Hasil riset menunjukkan bahwa anak di keluarga yang hanya memiliki orang tua tunggal, rata-rata cenderung kurang mampu mengerjakan sesuatu dengan baik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga yang orangtuanya utuh,'' terangnya.

Menurut Duncan, keluarga dengan orang tua tunggal selalu terfokus pada kelemahan dan masalah yang dihadapi. Ia berpendapat, sebuah keluarga dengan orang tua tunggal sebenarnya bisa menjadi sebuah keluarga yang efektif, laiknya keluarga dengan orangtua utuh.

Asalkan, mereka tak larut dalam kelemahan dan masalah yang dihadapinya. ''Melainkan, harus secara sadar membangun kembali kekuatan yang dimilikinya,'' katanya.

Sedangkan, Stephen Atlas, pengarang buku Single Parenting, menuliskan, jika keluarga dengan orang tua tunggal memiliki kemauan untuk bekerja membangun kekuatan yang dimilikinya, itu bisa membantu mereka untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.

Dengan begitu, Duncan menyambung, ada beberapa keuntungan yang bisa diperoleh dari upaya itu bagi si orang tua maupun anak-anaknya. ''Dengan begitu, sebenarnya bukan sebuah halangan bagi wanita yang menjadi single parent untuk mendidik dan memelihara keluarganya,'' katanya.

Apalagi ada sebuah kajian psikologi yang menyatakan bahwa wanita bisa lebih kuat menghadapi perpisahan, baik itu kematian maupun perceraian dengan pasangan, ketimbang laki-laki.

Wanita semestinya lebih tahan menderita karena secara sunnahtullah ia terlatih untuk 'kuat' menghadapi darah menstruasi di awal balighnya, hamil, dan melahirkan.

Sementara, di usia baligh yang sama, anak laki-laki mungkin masih bermain-main. Namun, paparan ini bukan menjadi alasan untuk mudah memutuskan menjadi orang tua tunggal, apalagi karena perceraian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement