Senin 31 Mar 2014 14:42 WIB

Bijak Menggunakan Antibiotik

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Indira Rezkisari
Obat-obatan antibiotika. Ilustrasi
Foto: .
Obat-obatan antibiotika. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Bagi sejumlah ibu memilih dokter anak yang mempraktikkan Rational Use of Medicine sangat penting. Beberapa orang tua bahkan sangat bangga bila anaknya belum pernah mendapatkan antibiotik sama sekali.

World Health Organization (WHO) telah mengingatkan dunia akan ancaman ‘mandulnya’ antibiotik. Permasalahan global ini berdampak signifikan terhadap kualitas kesehatan masyarakat.

Di Indonesia, hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 menunjukkan, 86,1 persen rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik di rumah tanpa resep dokter. Padahal, antibiotik seharusnya digunakan dengan hati-hati.

Studi lainnya menunjukkan penggunaan antibiotik cenderung berlebihan dan umumnya justru diberikan pada penyakit atau kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Kondisi ini akan merugikan konsumen.

“Jika bakteri semakin kebal dengan antibiotik maka ia akan lebih sulit dibunuh jika benar menyebabkan penyakit,” kata dokter anak, dr Purnamawati S Pujiarto SpA(K).

Ironisnya, penggunaan antibiotik yang cenderung berlebihan terjadi pada penyakit atau kondisi yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotik. Studi yang dilakukan YOP pada 2010 menunjukkan 86,4 persen anak-anak penderita infeksi virus-yang bisa sembuh sendiri tanpa obat-obatan-seperti demam mendapatkan antibiotik. Peresepan yang sama ditemukan pada kasus diare (74,1 persen).

Praktik peresepan obat seperti ini berpotensi membahayakan kesehatan anak-anak. Studi WHO pada 2005 menemukan 50 persen resep di puskesmas dan rumah sakit di Indonesia mengandung antibiotik.

Sementara itu, survei nasional pada 2009 mengungkap antibiotik diresepkan untuk penyakit-penyakit yang disebabkan oleh virus seperti diare akut dan selesma (flu).

Purnamawati menyebut bentuk penggunaan antibiotik yang tidak bijak cukup beragam, mulai dari ketidaktepatan dalam pemilihan jenis antibiotik hingga cara dan lama pembeliannya. Kekeliruan tersebut selain dapat mengurangi efikasinya sebagai pembunuh mikroba, juga bisa menimbulkan masalah resistensi yang dapat menyebabkan pasien menderita sakit yang lebih berat, lebih lama, terpapar risiko toksisitas, risiko kematian, dan pengobatan yang lebih mahal.

Untuk menjadi konsumen kesehatan yang bijak, pasien dianjurkan menanyakan tiga hal ketika berkonsultasi ke dokter, yakni diagnosis penyakit, tata laksana penyakit, dan kapan harus cemas.

“Jika diberi obat, pasien disarankan bertanya kepada dokter apakah benar-benar butuh obat, berapa jumlah obatnya, apa kandungan aktifnya, bagaimana cara kerjanya, apa risiko efek sampingnya, kontradiksi, dan cara pakainya,” saran konsultan hepatologi anak yang aktif memberikan penyuluhan kesehatan bersama Yayasan Orangtua Peduli.

Orang tua harus cerdas dan menghindari kekeliruan penggunaan antibiotik. Hindari pemberian antibiotik ketika anak demam, batuk, flu, dan diare. Sistem kekebalan tubuh anaklah yang mampu menghalau serangan kuman penyebab penyakit akibat virus.

Antibiotik tidak berguna karena tidak dapat membunuh virus. Justru antibiotik dapat membunuh bakteri baik dalam tubuh kita. “Seandainya anak kita membutuhkan antibiotik, pilihlah antibiotik yang hanya bekerja terhadap bakteri yang dituju,” ucap Purnamawati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement