Kamis 20 Mar 2014 21:52 WIB

The Act Of Killing (3 Habis)

HM Subarkah
Foto: Republika/Daan
HM Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Muhamad Subarkah

Sekitar satu dasa warsa ke depan, sisa tragedi itu dampaknya sempat terlihat di depan mata saya. Entah mengapa pada pertengahan tahun 1970-an kota kecil itu Ajibarang itu pada suatu siang geger kembali oleh sebuah peristwa pembunuhan.

Ayah saya menceritakan peritiwa itu sepulang mengajar di sekolah. Katanya, di jalan tadi ada seorang membunuh tetangganya yang baru pulang dari tahanan. Cara membunuhnya sadis dengan menumbuk  kepala si tetangganya dengan batu besar yang ada di pinggir jalan. Ketika ditanya aparat keamanan mengenai alasan membunuh, si pelaku dengan tegas mengatakan: ''Karena ulah dia ayah saya hilang. Dialah yang dulu 'ngajak-ngajak' masuk PKI. Maka itu balasan yang setimpal!''

Rangkain kisah inilah yang kemudian membangkitkan rasa nyeri  ketika melihat tayangan di The Act of Killing yang disebut mendapat nominasi Piala Oscar 2014.  Cerita tragedi di kampung saya itu kembali berputaran di kepala. Anehnya, warga negara di tempat Piala Oscar digelar  merayakannya dan terkesan hanya berani 'menyerang' posisi Indonesia. Mereka lupa mengenai peri laku pemerintahnya pada tragedi itu.

Dalam hal ini saya kembali teringat kepada pernyataan seorang pastur asal Prancis, Francois Bizot, yang berada di Kamboja saat rezim brutal Khmer Merah berkuasa. Dia melihat sendiri koyakan luka dan darah pembantaian 2 juta rakyat negeri itu atas nama demokrasi dan anti komunisme.

Belakangan, pastur ini yang saat sempat mendekam selama tiga bulan dalam kamp tahanan Khmer Merah lantang mempertanyakan sikap negara adi kuasa yang saat itu tak bersuara di forum dunia, seperti Sidang Umum PBB. Bukan hanya itu dia juga mempertanyakan mengenai asal usul senjata senjata dipakai Khmer Merah untuk melakukan pembantaian dan menggulingkan rezim Jendral Lol Nol. Bizot prihatin sekaligus gamang atas tindakan 'orang orang barat' yang munafik dengan sibuk menguak tragedi itu tanpa mempertimbangkan perasaan dari  rakyat yang mengalaminya.Menurut dia rakyat Kamboja dengan caranya sendiri telah menutup luka, berdamai, dan saling memaafkan atas peristwa itu.

Atas dasar itulah saya paham arti kritikan Taufik Ismail atas pandangan orang barat atas tragedi 1965 dan juga atas 'angle' cerita film 'The Act of Killing' karya Joshua Oppenheimer. ''Mereka berlandaskan toeri 'ujug-ujug'. Sekonyong-koyong peristiwa itu terjadi tanpa rentetan sebab yang panjang dibelakangnya. Dan seolah-olah bahwa hanya pihak komunis saja yang jadi korbannya. Mereka lupa apa yang terjadi di Madiun pada awal kemerdekaan. Di banyak tempat, misalnya di Kanigoro, para ulama juga dibantai. Ini jelas pelajaran sejarah yang pahit,'' kata Taufik.

Tapi ya apa boleh buat. Meski gagal mendapat Piala Oscar film 'The Act of Killing' membuka luka baru di atas luka lama. Khusus untuk pengurus warga dan warga Nahdliyim mereka juga harus berani  bersuara mengatakan kepedihan hatinya bahwa mereka dulu juga menjadi korban ....!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement