Sabtu 11 Jan 2014 07:18 WIB
Ekspor Ternak

Ekspor Ayam Olahan Dijajaki Kembali

Ayam (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Ayam (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah sedang menjajaki peluang pembukaan kembali ekspor produk ayam olahan ke Jepang. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Syukur Iwantoro mengatakan, ia dan Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Akhmad Djunaedi sudah melakukan pertemuan pada Kamis (9/1) dengan Minister Embassy of Japan untuk Indonesia, Ushio Shigeru, yang didampingi Atase Pertanian, Bahan Pangan, dan Agroindustri Jepang Kazuko Takabatake. Pertemuan membahas kemungkinan pembukaan kembali peluang ekspor produk ayam olahan tersebut.

“Pada 2000-an, Indonesia telah melakukan ekspor daging ayam beku ke Jepang, namun dengan adanya outbreak penyakit flu burung di Indonesia, ekspor ini menjadi terhenti,” kata Syukur melalui keterangan tertulis kepada Antara, Jumat (10/1).

Ia melanjutkan, sebagai upaya membuka kembali ekspor produk ayam olahan ke Jepang, Kementan akan segera mengomunikasikan hal tersebut dengan Pemerintah Jepang di Tokyo. Menurut Syukur, penjajakan dibukanya kembali ekspor produk ayam ke Jepang tersebut untuk meningkatkan usaha industri perunggasan dalam negeri.

Apabila ekspor produk ayam olahan ke Jepang dibuka kembali maka dapat meminimalkan fluktuasi harga pasar dalam negeri yang sering terjadi begitu tajam selama ini. “Sehingga, pada akhirnya diharapkan dapat menciptakan iklim usaha industri perunggasan lebih kondusif,” ujar Syukur.

Dalam pertemuan tersebut, Shigeru juga menyampaikan bahwa pada Mei 2013 Jepang sudah dideklarasikan sebagai negara bebas dari penyakit mulut dan kuku (PMK) tanpa vaksinasi berbasis negara oleh Organisasi Kesehatan Hewan Internasional (Office International des Epizooties/OIE).

Oleh karena itu, Jepang berharap dapat memiliki peluang ekspor daging sapi beku ke Indonesia. “Tapi, kita dorong untuk membuka peternakan yang premium,” kata Syukur.

Syukur menilai, Jepang merupakan salah satu negara potensial untuk memasok sapi ke Indonesia. Negara lain yang juga berpotensi untuk impor sapi ke Indonesia, yakni Papua Nugini, Filipina, dan beberapa negara pasifik. Di Jepang, Syukur melanjutkan, juga terdapat rumah potong hewan (RPH) yang memiliki sertifikat halal. Indonesia membutuhkan kehadiran negara eksportir lain agar tidak bergantung kepada Australia dan Selandia Baru.

Ushio Shigeru menanggapi positif keinginan Pemerintah Indonesia. Menurutnya, dalam waktu dekat para investor Jepang akan datang ke Indonesia untuk menjajaki kemungkinan membuka usaha peternakan dan pemotongan sapi. Beberapa daerah yang diminati oleh para investor untuk menanamkan modalnya, antara lain, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Barat.

Staff Ahli Menteri Pertanian Bidang Kebijakan Pembangunan Pertanian Pantjar Simatupang mengatakan, pemerintah harus melakukan kajian lebih mendalam di bidang peternakan. Satu tahun ke depan harus dimanfaatkan untuk meraih target swasembada daging. Apalagi, sepanjang 2013, Indonesia dihadapkan pada gejolak harga daging yang meresahkan masyarakat. “Tanpa pengkajian yang lebih mendalam, niscaya program swasembada bertahan sebatas wacana,” katanya.

Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan Ahmad Suryana menyatakan, ketahanan nasional saat ini cukup stabil. Indikatornya dihitung dari kecukupan gizi masyarakat, termasuk kalori, protein, dan zat-zat yang dibutuhkan oleh tubuh.

“Ada peningkatan konsumsi ikan dan hortikultura di Indonesia. Hal ini diharapkan terus berlanjut, mengingat bahan pangan lain, seperti daging, harganya masih tinggi,” ujarnya.

Agar ketahanan pangan stabil, BKP melakukan serangkaian upaya yang akan direalisasikan tahun ini. Pertama, percepatan penganekaragaman konsumsi pangan (P2KP). Program ini bertujuan untuk mempercepat diversifikasi konsumsi pangan masyarakat. Anggaran untuk program tersebut mencapai Rp 194,54 miliar yang diambil dari bantuan sosial sebesar Rp 105,89 miliar.

Selanjutnya, kata Suryana, BKP juga mengembangkan usaha produktif berbasis sumber daya lokal. Tujuannya agar masyarakat mendapatkan akses pangan untuk mencukupi gizi rumah tangga. Caranya, dengan mengembangkan kawasan mandiri pangan (KMP) dan desa mandiri pangan (DMP). “Model ini cocok dikembangkan di wilayah perbatasan dan kepulauan, seperti Papua,” kata Suryana. n meiliani fauziah/antara ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement