Selasa 10 Dec 2013 05:35 WIB
Tragedi Rohingya

PBB Desak Penyelidikan Kasus Rohingya

Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) berangkat dalam misi kemanusian bagi etnis muslim Rohingnya melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (25/8). Palang Merah Indonesia (PMI) mengirimkan 7,5 ton bantuan kemanusiaan berupa 500 paket hygiene kit,
Foto: Republika/Adhi.W
Relawan Palang Merah Indonesia (PMI) berangkat dalam misi kemanusian bagi etnis muslim Rohingnya melalui Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Sabtu (25/8). Palang Merah Indonesia (PMI) mengirimkan 7,5 ton bantuan kemanusiaan berupa 500 paket hygiene kit,

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ferry Kisihandi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Pemerintah Amerika Serikat (AS) meradang. Mereka menghendaki penyelidikan atas laporan terjadinya  penjualan Muslim Rohingya ke penyelundup manusia. Imigrasi Thailand mengusir Rohingya dengan menyerahkannya ke penyelundup manusia.

Laman berita Reuters melakukan investigasi selama dua bulan mengenai kasus ini. Laporan tersebut diturunkan pada Kamis (5/12). Sehari kemudian, PBB dan AS menuntut dilakukannya penyelidikan terhadap kasus penjualan manusia itu.  Setelah diinapkan di pusat penahanan imigrasi, Muslim Rohingya yang lari dari Myanmar itu diserahkan ke penyelundup yang menunggu di laut. Mereka kemudian menghuni kamp di hutan-hutan wilayah selatan Thailand.

Sebagian mereka kehilangan nyawa, sebagian lainnya terluka akibat beragam penyiksaan. Ribuan dolar AS harus dibayarkan kepada para penyelundup manusia agar seorang Muslim Rohingya bebas dari kamp yang menyiksa itu.

Kekerasan agama di negara bagian Rakhine, Myanmar tahun lalu membuat 140 ribu orang kehilangan rumah. Sebagian besar adalah Muslim Rohingnya. Sejak saat itu, puluhan ribu Rohingya meninggalkan Myanmar dengan perahu. Banyak juga yang menuju Thailand. “Kabar terjadinya penjualan Muslim Rohingnya ke penyelundup manusia harus segera diselediki,” kata Juru Bicara UNHCR Vivian Tan dalam pernyataannya. Tak lama berselang, AS menyampaikan tuntutan serupa.

“Kami menaruh perhatian atas laporan yang mengungkapkan pejabat Thailand terlibat penjualan Rohingya ke penyelundup manusia,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri AS Marie Harf. Ia mendesak Thailand menggelar penyelidikan serius dan terbuka mengenai hal ini.

Pada Sabtu (7/12) Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra menyatakan siap membantu PBB dan AS. Meski demikian, ia tak bersedia memberikan komentar mengenai temuan soal penjualan manusia itu.

“Saya tak dapat berkomentar tentang isu Rohingya. Respons terhadap hal ini akan ditangani Kementerian Luar Negeri,” kata Yingluck melalui ajudannya. Menurut dia, nantinya Kementerian Luar Negeri yang berhubungan dengan PBB maupun AS untuk membantu penyelidikan.

Pejabat Kepolisian Thailand Mayor Jenderal Chatchawal menyatakan, ada kebijakan tak resmi mendeportasi Rohingya ke Myanmar. Ia menyebutnya “pilihan dua”. Tapi, ia mengatakan, Rohingnya menandatangani pernyataan mereka setuju dideportasi ke Myanmar.

Meski demikian, surat pernyataan dibuat tanpa adanya penerjemah. Human Rights Watch (HRW) mengkritik langkah Thailand. Ia mengingatkan, peringkat Thailand dalam daftar AS mengenai negara terburuk yang melakukan penyelundupan manusia, bisa turun. Penurunan peringkat ini memungkinkan AS menjatuhkan sanksi. Walaupun, selama ini Thailand merupakan sekutu dekat AS dan kekuatan ekonomi kedua di Asia Tenggara. Thailand berpotensi masuk dalam kategori terendah, yaitu Tier 3.

Sek Wannamethee, juru bicara Kementerian Luar Negeri Thailand mengakui, Rohingya merupakan salah satu isu yang dipertimbangkan AS saat menentukan peringkat Thailand di daftar itu. Pada 2013 ini, sembilan orang ditangkap di Thailand terkait penyelundupan Rohingya. Dua di antaranya adalah pejabat pemerintah. Sayangnya, tak ada hukuman atas penangkapan itu. Tahun sebelumnya, Thailand menghukum 27 orang dalam kasus sama, turun dari 2011 yang jumlahnya mencapai 67 orang. n

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement