Senin 11 Nov 2013 06:40 WIB
Ibadah Haji

Keuangan Haji Butuh Payung Hukum

Ribuan jamaah haji berdoa di bukit Jabal Rahmah, saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10).  (AP/Amr Nabil)
Ribuan jamaah haji berdoa di bukit Jabal Rahmah, saat melaksanakan ibadah wukuf di Arafah, Senin (14/10). (AP/Amr Nabil)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA — Pengelolaan keuangan haji membutuhkan payung hukum yang jelas. Ini karena dana yang dikelola merupakan amanah umat. Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Anggito Abimanyu menyatakan, Kementerian Agama (Kemenag) telah mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Keuangan Haji dan saat ini sedang dibahas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan adanya payung hukum, diharapkan nilai manfaat dari dana tersebut dapat digali secara optimal sehingga dapat dirasakan manfaatnya oleh para jamaah.

“Dalam hal ini, akademisi mempunyai peran strategis untuk menyampaikan nilai penting dari RUU Pengelolaan Keuangan Haji, baik kepada masyarakat maupun para pemangku kepentingan lainnya,” katanya, Ahad (10/11). Ia mengatakan, RUU Pengelolaan Keuangan Haji menjadi krusial karena UU tersebut mengandung beberapa poin penting.

Salah satu poin penting tersebut adanya rambu yang kuat untuk pemanfaatan uang jamaah. Selain itu, diperlukannya perbaikan tata kelola keuangan haji. Laporan keuangan harus disampaikan terpisah, yakni tidak digabung dengan laporan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selanjutnya, Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) harus dibentuk untuk mengawasi hal itu.

Menurutnya, potensi dana yang terhimpun dalam penyelenggaraan ibadah haji sangat besar. Hingga April 2013, jumlahnya tercatat mencapai Rp 54,5 triliun. Beberapa tahun ke depan, jumlah itu diperkirakan akan semakin melonjak karena antusiasme masyarakat untuk berhaji terus meningkat. Sedangkan, kuota haji yang diberikan relatif tetap sehingga terjadi antrean haji.

“Kami saat ini sedang melakukan penataan agar dana haji yang terhimpun dapat lebih transparan dan dikelola secara profesional,” katanya. Ia mengatakan, dana haji tersebut juga mengandung potensi nilai manfaat yang besar jika dikelola dengan baik dan akuntabel.

Potensi dana haji yang besar dapat diinvestasikan dalam produk investasi dan jasa keuangan berbasis syariah yang produktif dan tidak berisiko tinggi. Nilai manfaat yang dihasilkan tentunya menjadi hak calon jamaah haji yang telah menyetorkan dana ke Kemenag.

Selama ini, manfaat tersebut belum terlalu dirasakan oleh para calon jamaah haji. Hal ini, menurut Anggito, disebabkan oleh regulasi yang ada, yakni UU Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji tidak memberikan kewenangan bagi Kemenag untuk melakukan investasi dana haji.

Islamic Development Bank (IDB), lanjut Anggito, siap memberikan bantuan teknis untuk mengelola dana haji Indonesia yang selama ini mengendap di perbankan Arab Saudi. Pihak IDB akan datang ke Indonesia untuk membahas hal ini lebih lanjut. Menurutnya, Pemerintah Indonesia memilih IDB sebagai mitra karena lembaga tersebut memiliki akreditasi dan akuntabilitas tinggi.

Jika kerja sama ini disepakati, IDB akan bertindak sebagai wakil atau muwakkil atas dana yang dikelola dengan tenor yang disepakati. Anggito memastikan, dalam prosesnya, IDB harus melibatkan konsultan dari Indonesia.

Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Edy Suandi Hamid mengatakan, RUU Pengelolaan Keuangan Haji mendesak untuk segera diimplementasikan. Dengan begitu, potensi dana haji yang besar dapat dioptimalkan untuk memperbaiki pelayanan haji.

“Saya dan para dosen UII sebagai akademisi tentunya siap mendukung langkah Kemenag,” katanya. Caranya, dengan menyosialisasikan pentingnya RUU Pengelolaan Keuangan Haji melalui seminar, diskusi ilmiah, maupun publikasi penelitian atau karya ilmiah. n amri amrullah/antara ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement