Jumat 08 Nov 2013 09:15 WIB
Penyadapan Telepon

Brasil Tuntut AS Minta Maaf

Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat
Foto: overthinkingit.com
Badan Intelijen Pusat (CIA) Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, BRASILIA -- Brasil kembali melontarkan kata-kata yang memojokkan Amerika Serikat (AS). Kali ini, Presiden Brasil Dilma Rousseff menuntut AS untuk meminta maaf. Apalagi kalau bukan gara-gara aksi mata-mata yang diduga dilakukan Badan Keamanan Nasional AS (NSA) terhadap para petinggi Brasil, termasuk Rousseff. “AS harus minta maaf dan meyakinkan kami untuk tak melakukannya lagi,” ujar Rousseff dalam wawancara dengan grup media asal Brasil, RBS, Rabu (6/11).

Menurut Rousseff, ia seharusnya melakukan kunjungan kenegaraan ke Washington, Oktober lalu. Namun, ia membatalkan kunjungan itu setelah muncul laporan bahwa NSA menyadap komunikasi Rousseff dan kabinetnya. Laporan yang muncul di media massa itu dibuat berdasarkan kesaksian mantan analis sistem NSA Edward Snowden. 

Selain menyadap para petinggi Pemerintah Brasil, menurut laporan itu, NSA juga meretas jaringan komputer perusahaan minyak milik negara, Petrobras. Masih menurut laporan tersebut, NSA juga mencegat e-mail dan panggilan telepon warga Brasil dalam kurun waktu tertentu.

Kalau saja waktu itu AS meminta maaf, kata Rousseff, mungkin rencana kunjungan resminya ke Washington tetap terlaksana. “Atas dasar itu, hanya ada satu cara untuk memecahkan masalah ini, yakni AS harus minta maaf.”

Lebih lanjut, Rousseff menegaskan, penjelasan Pemerintah AS bahwa kegiatan NSA bertujuan untuk memerangi terorisme benar-benar tak masuk akal. Apalagi, bila mengingat bahwa Brasil, Jerman, dan Prancis adalah negara-negara yang tak memiliki kaitan dengan terorisme. Untungnya, kata dia, hubungan persahabatan yang telah lama terjalin antara Brasil dan AS tak terganggu ulah intelijen NSA. “Tapi, kami tetap tak bisa menerima seorang presiden dimata-matai.”

Pernyataan Rousseff ini muncul setelah publik Brasil dikejutkan oleh laporan surat kabar Folha de Sao Paulo yang menyatakan Negeri Samba juga melakukan pengintaian terhadap diplomat asing. Disebutkan, badan intelijen Brasil, Abin, telah memata-matai diplomat AS, Iran, dan Rusia pada 2003-2004. Abin diam-diam menguntit diplomat tiga negara itu dan memotret mereka.

Pemerintah Brasil dan Abin tak menampik laporan itu. Meski demikian, melalui Menteri Kehakiman Jose Eduardo Cardoso, Brasil membela diri dengan mengatakan, apa yang dilakukan Abin jauh berbeda dengan yang dilakukan NSA. “Situasinya benar-benar berbeda,” ujar Cardoso.

NSA, menurut dia, berusaha menguping atau menyadap berbagai hal yang sifatnya rahasia. “Seperti, menyadap data, pembicaraan telepon,” ujar Cardoso. Sementara, yang dilakukan Brasil, lanjut dia, merupakan kegiatan kontraintelijen yang diizinkan hukum.

Beri kesaksian

Sementara, di Inggris untuk pertama kalinya para petinggi intelijen negara itu akan bersaksi di depan publik. Para petinggi yang berasal dari Badan Keamanan Nasional Inggris (GCHQ), Badan Intelijen Inggris (M15), dan Lembaga Keamanan Dalam Negeri itu akan memberi kesaksian di hadapan anggota parlemen terkait peran Inggris dalam kegiatan mata-mata AS. Petinggi intelijen Inggris diharapkan dapat memberi keterangan rinci terkait kerja sama yang mereka lakukan dengan NSA.

Dugaan adanya kerja sama antara NSA dan intelijen Inggris terungkap dalam laporan di media yang ditulis berdasarkan kesaksian Snowden. Laporan tersebut telah membuat malu Perdana Menteri Inggris David Cameron dan membakar amarah anggota parlemen dari partai berkuasa, yakni Partai Konservatif. “Ini adalah langkah baik menuju transparansi,” kata seorang juru bicara Pemerintah Inggris kepada Reuters, Kamis (7/11). n ichsan emrald alamsyah/ap ed: wachidah handasah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement