Senin 28 Oct 2013 08:35 WIB
Kuota BBM Bersubsidi

Kuota BBM Dijaga

Petugas mengganti papan angka harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU
Foto: ANTARA FOTO
Petugas mengganti papan angka harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di SPBU

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah berkomitmen untuk menjaga kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi agar tidak lebih dari 48 juta kiloliter. Wakil Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah akan melakukan pengendalian konsumsi dan distribusi secara tertutup. “Kita minta dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar 48 juta kiloliter itu dipatuhi,” kata Bambang di Jakarta, akhir pekan lalu.

Bambang mengaskan, Kemenkeu menyerahkan sepenuhnya teknis proteksi kuota BBM bersubsidi kepada kementerian terkait. Kementerian itu pun dipersilakan melakukan kebijakan apa pun guna mentaati batasan atau kuota BBM bersubsidi.

Sebelumnya, pemerintah telah menelurkan sejumlah cara untuk mencegah jebolnya kuota BBM. Misalnya, penggunaan radio frequency identification (RFID) atau transaksi nontunai untuk pembelian BBM bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).

“RFID boleh, cashless boleh, dua-duanya juga boleh. Yang penting tujuannya tercapai,” tegas Bambang. Selain dengan upaya itu, kata Bambang, kementerian juga dapat menerapkan subsidi tertutup. Artinya, subsidi terbatas hanya kepada kelompok tertentu. Bambang tidak menjelaskan kelompok tertentu mana yang bisa mendapatkan subsidi tertutup tersebut. Ia berdalih, penentuan kriteria kelompok penerima BBM bersubsidi merupakan bagian dari kebijakan Kementerian Enerdi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Dalam undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara (UU APBN) 2014 yang baru saja disahkan DPR, subsidi BBM, gas 3 kilogram, dan liquefied gas for vehicle (LGV) mencapai Rp 210,73 triliun. Dalam rapat paripurna yang berlangsung akhir pekan lalu, DPR sepakat penerapan pola subsidi tertutup dan penyaluran BBM secara bertahap sebagai upaya pembatasan volume BBM bersubsidi.

Besarnya subsidi BBM turut berpengaruh terhadap defisit APBN 2014. Namun Pelaksana Tugas Deputi Bidang Koordinasi Fiskal dan Moneter Kemenko Perekonomian Bobby Rafinus menilai wajar adanya peningkatan defisit pada postur APBN 2014. “Nominal defisit anggaran wajar meningkat mengikuti pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” ujar Bobby kepada Republika, Sabtu (26/10).

Menurut Bobby, hal yang terpenting adalah rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB). Alasannya, Indonesia menganut faham yang sama dengan negara-negara Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang menggunakan batas defisit anggaran 3 persen PDB sebagai tingkat yang aman. Sejauh ini, kata Bobby, batas defisit tersebut dipatuhi bahkan ada kecenderungan realisasi APBN beberapa tahun ini sekitar 2 persen.

Pengamat Ekonomi Indef Eko Listiyanto menilai, defisit APBN yang membesar akan mengganggu stabilitas fiskal. Ketidakseimbangan fiskal akan terjadi apabila pemanfaatan anggaran tidak bisa optimal. “Misalnya, penyerapan rendah, waktu pencairan atau timing-nya lambat dan menumpuk di triwulan III atau IV,” kata Eko.

Menurut Eko, alasan membuat anggaran defisit adalah untuk meningkatkan peran pemerintah dalam perekonomian. Apabila nyapenyerapan tidak optimal, maka akan lebih tepat merancang anggaran yang meminimalkan defisit.

Terkait besarnya anggaran, Eko melanjtukan, maka untuk meningkatkan multiplier effect perekonomian, anggaran belanja modal untuk infrastruktur harus ditingkatkan. Sehingga, kemiskinan dan pengangguran akan berkurang seiring meningkatnya aktivitas ekonomi.

“Terkait subsidi, utang, belanja rutin, ya perlu realokasi yang lebih tepat untuk mendukung pembangunan,” ujarnya. Postur Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) 2014 belum menunjukkan perbaikan signifikan dibanding APBN sebelumnya. APBN masih terbebani tiga masalah klasik, besarnya subsidi BBM, tingginya belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang.

Belanja pemerintah pusat 2014 terdiri atas belanja pegawai Rp 263,977 triliun, belanja barang Rp 201,88 triliun, belanja modal Rp 205,84 triliun, pembayaran bunga utang Rp 121,28 triliun, dan subsidi energi Rp 282,1 triliun. Sedangkan belanja subsidi energi terdiri atas BBM Rp 210,7 triliun dan listrik Rp 71,4 triliun. Angka subsidi BBM 2014 jauh lebih tinggi dibandingkan pada 2013 yang mencapai Rp 199,7 triliun.

Pendapatan negara dipatok Rp 1.667,14 triliun, sementara pengeluaran Rp 1.842,5 triliun. Hal Ini menunjukkan defisit anggaran Rp 175,34 triliun atau 1,69 persen dari PDB. n friska yolandha/fenny melisa ed: eh ismail

Info Grafis

Rp 282,1 Triliun

Total subsidi energi (BBM dan listrik) dalam APBN 2014.

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement