Kamis 17 Oct 2013 08:50 WIB
Konflik Suriah

Cegah Lapar, Daging Anjing di Suriah Jadi Halal

 Tentara Suriah berjalan di antara bangunan yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.
Foto: EPA/STR
Tentara Suriah berjalan di antara bangunan yang hancur akibat perang saudara yang melanda negara tersebut.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ichsan Emrald Alamsyah

Suasana perayaan Idul Adha belum hilang di berbagai belahan dunia. Sejumlah masjid masih membagikan daging kurban kepada para dhuafa. Mereka bersuka cita menyambut ibadah yang memiliki semangat kesalehan sosial ini.

Kedatangan Idul Adha membuat para dhuafa bisa mengonsumsi daging yang selama ini tak terjangkau. Namun, hal ini tak terjadi di sejumlah desa di pinggiran Kota Damaskus, Suriah. Umat Islam di wilayah ini tak merasakan suasana Idul Adha, apalagi mencicipi daging kurban.

Warga yang tinggal di lokasi konflik antara pasukan oposisi dan militer Suriah sangat sulit mengakses makanan. Perang saudara yang tak kunjung berakhir membuat warga terancam kelaparan. Kondisi ini membuat sekelompok ulama Suriah mengeluarkan fatwa kontroversial.

Para ulama Suriah ini mengeluarkan fatwa yang mengizinkan warga di pinggiran Kota Damaskus memakan daging anjing. Dalam sebuah video yang dikutip dari BBC, ulama itu mengatakan, masyarakat bisa memakan daging kucing, anjing, dan kera untuk menghilangkan rasa lapar.

Ulama terpaksa mengeluarkan fatwa karena rakyat di Muadhamiya kelaparan. Wilayah itu memang dikuasai pihak oposisi sehingga terkepung militer Suriah. Lembaga bantuan kemanusiaan meminta pemerintah mengizinkan suplai makanan masuk ke daerah itu.

Suplai makanan sangat dibutuhkan karena banyak warga sipil yang terperangkap di dalamnya. Namun, ratusan warga bisa melarikan diri dari wilayah itu pekan ini karena kedua belah pihak melakukan gencatan senjata. Sehingga, konflik bisa sedikit mereda.

Ulama di sekitar Ghouta tak hanya memerintahkan warga memakan daging yang diharamkan dalam Islam. Sang ulama juga meminta bantuan kepada seluruh masyarakat internasional. Karena saat ini situasi di wilayah itu sangat parah. Bahkan, bukan tak mungkin warga akan memakan mereka yang sudah meninggal.

Ini bukan pertama kalinya ulama Suriah merilis fatwa kontroversial. Beberapa kali ulama mengeluarkan fatwa serupa ketika terjadi perang di Homs dan Aleppo. Lembaga bantuan kemanusiaan mengatakan, prioritas utama seharusnya menyalurkan makanan di wilayah yang sedang dilanda perang.

Prioritas ini harus disamakan dengan program pelucutan senjata pemusnah massal di Suriah. Direktur Jenderal Medecins Sans Frontieres (MSF), Christopher Stokes, menggambarkan situasi ini sangat absurd. Karena, ketika tim inspektur senjata kimia bisa bebas ke wilayah yang kritis, justru konvoi bantuan dihentikan.

Ratusan orang tewas pada 21 Agustus akibat roket yang berisi gas saraf jatuh ke wilayah Zamalka, Ein Tarma, dan Muadhamiya. Tim inspektur tak menyebutkan siapa yang bertanggung jawab. Akan tetapi, pemerintah dan oposisi saling menyalahkan atas tragedi itu.

Konflik di Suriah belum menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Pada Rabu (16/10) 21 orang termasuk empat anak dan enam wanita tewas akibat ledakan dari sebuah minibus di Kota Noa, selatan Suriah. Kelompok oposisi menuding loyalis Presiden Suriah Bashar al-Assad sebagai dalang ledakan.

Ledakan berada di wilayah yang sedang diduduki pasukan oposisi, yakni Provinsi Deraa. Namun, di wilayah itu masih ada beberapa tentara loyalis Assad. Konflik antara dua kubu ini telah berlangsung satu tahun lebih.

Kekerasan terus berlangsung di tengah seruan negara Arab dan organisasi Muslim agar kedua pihak di Suriah melakukan gencatan senjata untuk menghormati datangnya Idul Adha. Namun, seruan itu tak mampu menghentikan aksi kekerasan oposisi dan militer. n reuters ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement