Rabu 25 Sep 2013 06:05 WIB
Krisis Pangan

Indonesia Masuk Krisis Pangan

Krisis Pangan (ilustrasi)
Foto: setkab.go.id
Krisis Pangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia saat ini berada pada fase krisis pangan stadium empat atau sudah dalam kondisi sangat mengkhawatirkan. Alasannya, Indonesia sudah terlalu banyak mengimpor berbagai produk pangan.

“Sepertinya ada grand design untuk meluluhlantakkan pertanian Indonesia. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang sengaja membiarkan impor produk pangan sangat berlebihan,” kata anggota Komisi IV DPR Viva Yoga Mauladi pada acara Diskusi Publik Kartel Pangan dalam rangka memperingati Hari Tani di Jakarta, Selasa (24/9).

Viva melanjutkan, banjirnya produk impor makin diperparah dengan tidak adanya dukungan kredit dan kemudahan permodalan dari pemerintah yang bisa mewujudkan kemandirian petani. Akibatnya, generasi muda di nusantara kini tidak lagi berminat berusaha di bidang pertanian. Padahal, negara Indonesia adalah negara yang pernah dikenal dengan kedigdayaannya pada sektor agraria.

Menurut Viva, kebijakan pemerintah yang melakukan impor berlebihan dan tidak menyediakan lembaga pembiayaan pertanian (bank pertanian) sejatinya merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Pangan. Dalam undang-undang tersebut, impor pangan hanya boleh dilakukan dengan berbagai syarat ketat. Di antaranya, komoditas pangan impor tidak bisa diproduksi di dalam negeri, stok yang tidak mencukupi, bisa sebagai pengendali harga, dan tidak merugikan petani. “Nah, ini semua persyaratan itu tidak dipenuhi pemerintah,” ujarnya.

Dengan alasan itulah, Viva menyebutkan, negara sudah berada dalam kategori krisis pangan karena tidak mampu menyiapkan pangan dan tidak mampu mengendalikan harga pangan untuk rakyatnya.

Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir menambahkan, kebijakan salah arah pemerintah tak lain karena kementerian-kementerian yang terkait dengan urusan hajat hidup orang banyak diserahkan kepada politikus. Para politikus duduk menjadi menteri di kementerian urusan pangan dan perdagangan sehingga kebijakan yang dikeluarkannya selalu politis. “Semua kebijakan selalu bernuansa kepentingan politis dan hampir tidak ada yang menguntungkan rakyat dan petani,” katanya.

Winarno mencontohkan, saat ini pemerintah tidak lagi memberikan bantuan kredit usaha tani yang bisa memberikan pinjaman pupuk pada masa tanam. Pemerintah juga menghilangkan Koperasi Unit Desa (KUD) yang dulu mempunyai fungsi membeli hasil panen petani dengan harga lebih tinggi. “Kini, pemerintah membiarkan petani menyelesaikan masalahnya sendiri.”

Wakil Ketua Umum Perhimpunan Sarjana Pertanian Indonesia (PISPI) Salman Dianda Anwar mengatakan, ketidakberpihakan pemerintah pada sektor pangan dan pertanian juga mengakibatkan generasi muda tidak lagi tertarik pada studi di fakultas pertanian. Calon mahasiswa lebih tertarik belajar ke jurusan atau fakultas lain yang dinilai lebih memiliki masa depan cerah. “Kita tinggal menunggu kehancuran pertanian dan ketahanan pangan kita. Kecuali ada political will dari pemerintah untuk mengembalikan ketahanan pangan kita,” katanya.

Menurut data hasil sensus pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei 2013, telah terjadi penurunan rumah tangga petani dari 31,17 juta pada 2003 menjadi 26,13 juta pada 2013 atau turun 1,75 persen per tahunnya. n ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement