Jumat 30 Aug 2013 16:14 WIB

Saleh Daulay: Demokrasi di Indonesia Sangat Liberal

Saleh Daulay
Foto: PPI
Saleh Daulay

Simposium Nasional PPI Yaman yang berlangsung pada 21 Agustus 2013 di Hadhramaut, menghadirkan salah satu tokoh Nasional yakni Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah Dr. Saleh Pertaonan Daulay, MA. Dosen FISIP di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tersebut, mengisi seminar dalam simposium yang bertajuk "Menakar Akar Krisis Nilai-nilai Kebangsaaan".

Dalam pemaparannya, Saleh mengatakan bahwa sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945, terhitung telah terjadi 4 kali perubahan dalam sistem demokrasi. Mulai dari sistem demokrasi perlementer, sampai pereformasian beberapa sistem demokrasi yang pernah diterapkan sebelumnya. Revolusi pun tak terhindarkan hingga menghasilkan 6 agenda penting berdasarkan pada asas demokrasi.

"Demokrasi yang ada di Indonesia sangat liberal, bahkan lebih liberal dari Amerika," ucapnya.

Masih menurut Saleh, pada taraf selanjutnya, sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia menjadi semakin liar dan sangat liberal sehingga oleh sebagian kelompok hanya dijadikan senjata untuk mendulang keuntungan dan melakukan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga, cita-cita demokrasi yang dulunya untuk seluruh warga, harus kandas di tangan para pemangku jabatan.

Pil pahit pun kembali harus ditelan warga Indonesia, melihat praktik korupsi di negerinya telah berjalan secara desentralisasi. Tidak hanya di pusat yang menghabiskan anggaran negara, namun juga telah merambah di daerah-daerah dan terus menggerogoti anggaran daerah pula.

Selain praktik korupsi yang telah membumi di Indonesia, menandai semakin pudarnya nilai-nilai bangsa dalam setiap individunya, tak lupa ia juga menyinggung krisis persatuan yang sedang melanda bangsa Indonesia. Menurutnya, contoh yang paling konkret dalam hal tersebut yaitu penggunaan kata "kita". Dulu, kata tersebut mampu meneguhkan rasa kebangsaan. Namun hari ini, kata "kita" telah banyak diganti dengan kata "mereka" ataupun "kami" yang merepresentasikan sekelompok orang saja dan tidak bersifat menyeluruh.

"Prof. Fuad Hassan, mantan Menteri Pendidikan RI mengatakan, bahwa kata 'kita' hanya ada di dalam Bahasa Indonesia. Di dalam Bahasa Inggris menggunakan kata 'we', sedangkan di Bahasa Arab menggunakan kata 'nahnu', namun arti keduanya tidak sama dengan kata 'kita'," jelas Prof. Fuad.

Tidak hanya sampai di situ, menurut beliau peran para mahasiswa dan pelajar pun menempati posisi yang sangat strategis dalam mengawal nilai-nilai bangsa serta menahan laju krisis nilai-nilai kebangsaan yang terjadi di Indonesia. Penguatan peran civil society juga menjadi agenda yang penting, terbukti masyarakat madani dan terpelajar tersebut mampu menjadi kekuatan penyeimbang (balancing power) terhadap pemerintah yang berkuasa.  

 

Rubrik ini bekerja sama dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement