Kamis 22 Aug 2013 08:17 WIB
Krisis Keuangan

Indonesia Bisa Lebih Parah dari Thailand

Krisis Asia/ilustrasi
Foto: ilo.org
Krisis Asia/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Friska Yolandha, Muhammad Iqbal

Indonesia tidak seharusnya mengkhawatirkan nasib buruk yang dialami oleh Thailand, tetapi memikirkan nasibnya sendiri yang tidak kalah buruk. Kepala Ekuitas dan Penelitian PT Bahana Securities Harry Su mengungkapkan, kondisi Indonesia jauh lebih parah bila dibandingkan dengan Thailand. "Kinerja pasar saham Indonesia jauh lebih parah bila dibandingkan dengan Thailand," ujarnya.

Penurunan harga saham dalam Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai 14,1 persen bila dikonversi ke dolar AS. Meskipun melemah, indeks Thailand masih lebih beruntung, yaitu hanya melemah 5,2 persen. Hal serupa juga terjadi pada pelemahan nilai tukar terhadap dolar AS. Nilai tukar baht terhadap dolar AS turun 3,4 persen, sedangkan rupiah tergelincir 10,1 persen.

Bila dilihat dari price earning (PE), Indonesia juga jauh lebih tinggi dari Thailand, yaitu 16,6 kali dibandingkan 12,9 kali. Harry mengatakan, tingginya PE membuat valuasi lebih mahal. Bagi investor, valuasi merupakan sesuatu yang penting. Semakin tinggi valuasi, investor cenderung keluar dan melakukan aksi ambil untung.

Harry mengungkapkan, yang harus dikhawatirkan justru India. "Apakah Indonesia akan seperti India," katanya. Pasalnya, perlambatan ekonomi di India sudah sangat tinggi. Rupee India jatuh 16,3 persen terhadap dolar AS dan indeksnya meluncur ke zona merah sebesar 22,2 persen.

 

India memiliki sejumlah kemiripan dengan Indonesia, yaitu defisit neraca transaksi berjalan yang parah. Pemerintah India bahkan memberlakukan pajak terhadap impor emas. Ini dilakukan untuk memperbaiki defisit tersebut. Langkah positif dari Pemerintah India ini diharapkan akan membantu memberi sentimen positif terhadap negara-negara berkembang lain.

Dengan kondisi seperti ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan melemah dari 6,2 persen pada 2012 ke 5,9 persen akhir 2013. Namun, Harry meyakini pada 2014 Indonesia bisa kembali tumbuh 6 persen.

Hal yang sama diungkapkan Kepala Ekonom Bank Mandiri Destry Damayanti. Dia mengatakan, ditinjau dari aspek ekonomi makro, jatuhnya Thailand ke dalam jurang resesi tidak terlalu besar dampaknya kepada Indonesia. Meskipun begitu, sentimen negatif dari perkembangan tersebut bisa saja memengaruhi persepsi investor.

Destry mengaku, lebih mengkhawatirkan resesi yang tengah melanda India. Selain karena adanya kemiripan antara perekonomian India dan Indonesia, hubungan perdagangan Indonesia dengan India pun relatif tinggi, khususnya pada komoditas, seperti batu bara hingga minyak kelapa sawit mentah (CPO). "Artinya, kalau India makin memburuk, maka persepsi investor bisa sama untuk Indonesia," ujarnya.

Kepala Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengungkapkan, melihat kondisi yang terjadi saat ini Indonesia bisa dikatakan mengalami resesi secara teknikal. Resesi teknikal bukan berarti negatif karena pertumbuhan tetap tinggi.

Hal yang bisa disarankan, pemerintah dapat melakukan eksekusi kerja sama. Budi menyebutkan, pemerintah pernah melakukan Swap Bilateral Agreement pada krisis 1998 dengan negara, seperti Jepang, Cina, dan Korea. Mereka suka memberikan pinjaman kepada Indonesia karena mendapat keuntungan lebih bagus daripada menempatkan dana pada instrumen lain.  n ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement