Kamis 18 Jul 2013 03:55 WIB
Kartel Impor

Kartel Impor Rp 11,34 Triliun

Sembako di Pasar Tradisional (ilustrasi)
Foto: antara
Sembako di Pasar Tradisional (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tata niaga impor pangan nasional harus dirombak total. Tata niaga impor yang ada saat ini telah membuat adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan. “Akibatnya, rentan dengan spekulasi dan kartel. Kartel bisa sebesar Rp 11,34 triliun,” kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Pemberdayaan Daerah dan Bulog Natsir Mansyur kepada Republika, Rabu (17/7).

Selama ini, kata Natsir, neraca pangan nasional tidak seimbang lantaran banyak permintaan tapi penawarannya kurang. Kadin pun mencatat total potensi kartel akibat ketidakseimbangan ini mencapai Rp 11,34 triliun yang merupakan akumulasi dari enam komoditas strategi. Komoditas itu adalah daging sapi, daging ayam, gula, kedelai, jagung, dan beras.

Nilai potensi kartel tersebut belum termasuk komoditas lainnya yang juga berpengaruh pada tata niaga pangan. Adapun rincian perkiraan kebutuhan konsumsi nasional dengan nilai potensi kartel, yaitu, kebutuhan daging sapi yang mencapai 340 ribu ton dan nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp 340 miliar, kebutuhan daging ayam 1,4 juta ton dengan nilai kartel mencapai Rp 1,4 triliun, serta kebutuhan gula 4,6 juta ton dengan nilai kartel Rp 4,6 triliun.

Selanjutnya, kebutuhan kedelai 1,6 juta ton dengan nilai kartel Rp 1,6 triliun, kebutuhan jagung 2,2 juta ton dengan nilai kartel mencapai Rp 2,2 triliun, dan kebutuhan beras impor 1,2 juta ton dengan nilai kartelnya diperkirakan mencapai Rp 1,2 triliun.

Menurut Natsir, gambaran seperti itu diakibatkan karena penataan manajemen pangan nasional yang sangat lemah, dari aspek produksi, distribusi, dan perdagangannya. Pengelolaan kebijakan pangan oleh pemerintah, kata Natsir, masih sangat sentralistis dengan Kementerian Perdagangan (Kemendag), Kementerian Pertanian (Kementan), dan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) tidak ikhlas menyerahkan kebijakan tata niaga pangan ke pemerintah daerah yang sebenarnya lebih tahu akan kebutuhan daerahnya.

Kontrol Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap pangan juga dipandang lemah. DPR dinilai tidak bisa memberikan sanksi kepada kementerian yang tidak dapat menjaga kenaikan pangan yang berdampak ke rakyat. “Padahal, sanksinya bisa berupa pengurangan anggaran di kementerian itu,” kata Natsir.

Selain itu, Natsir menambahkan, tidak adanya logistik pangan ikut menyebabkan persoalan pangan nasional. Akibatnya, setiap kebijakan yang dikeluarkan Kemendag dan Kementan cenderung spekulatif dan pada gilirannya data pangan tidak bisa tepat dan akurat.

“Jadi wajar kalau presiden kita marah terhadap Kemendag dan Kementan karena tidak mampu mengatur pangan nasional yang juga kerap kali terjadi kelangkaan,” ujar pria yang juga ketua Asosiasi Pengusaha Gula dan Terigu Indonesia (Apegti) itu.

Natsir berharap, Menko Perekonomian bisa merombak tata niaga pangan ke arah yang tepat, terutama komoditas pangan yang strategis, seperti gula komsumsi atau rafinasi, serta perlunya membuka pabrik-pabrik baru untuk kedelai, jagung, daging sapi, ayam, hingga bawang putih.

Wakil Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Saidah Sakwan mengatakan, lembaganya sudah menurunkan tim pengawas kartel pangan terkait dengan kenaikan harga untuk beberapa komoditas pokok masyarakat.

“Di tengah penjelasan pemerintah yang menyatakan bahwa ketersediaan komoditas pokok mencukupi, maka wajar jika kami mencurigai ada tindakan kartel di balik kenaikan harga tersebut,” kata Saidah.

Menurut Saidah, KPPU sedang menyelidiki dugaan kartel dari kenaikan harga daging sapi yang pernah mengalami kenaikan hingga 50 persen pada awal tahun 2013 dan juga saat memasuki bulan Ramadhan.

Kenaikan harga beberapa bahan pangan telah mencapai di atas lima persen jika dibandingkan pada Juni lalu. Beberapa bahan pokok tersebut adalah cabai rawit yang mengalami kenaikan 63 persen, bawang merah 49 persen, daging ayam ras 19,5 persen, telur ayam ras 9,32 persen, dan daging sapi naik hingga 41 persen.

Saidah melanjutkan, harga kebutuhan pokok semakin tinggi saat jumlah permintaan semakin tinggi dan melebihi jumlah ketersediaan komoditas. Namun, apabila ketersediaan dinyatakan cukup, maka tidaklah wajar jika harga terus naik mencapai 63 persen.

Kartel merupakan tindakan perjanjian atau kesepakatan para pelaku usaha yang dapat berupa pengaturan harga, pengaturan wilayah pemasaran, dan pengaturan suplai. “Kami akan bertindak dan menjatuhkan sanksi kenaikan harga tersebut terbukti terjadi karena perilaku kartel,” kata Saidah.

Selain itu, setelah KPPU mencermati penyelidikan untuk daging sapi yang masih berjalan, KPPU juga menekankan pentingnya pengawasan atas realisasi impor karena menyangkut kebijakan importasi. KPPU memandang penting untuk mengingatkan pemerintah, khususnya Kemendag dan Kementan, untuk mengawasi realisasi impor komoditas yang telah disetujui agar sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan.

Saidah mengatakan, apabila realisasi impor tidak sesuai dengan waktunya, KPPU khawatir hal itu akan mengganggu kestabilan dan ketersediaan bahan pokok tersebut di pasar dalam waktu enam bulan ke depan.n rr laeny sulistyawati/antara ed: eh ismail

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement