Rabu 17 Jul 2013 08:50 WIB
Politik Mesir

Tujuh Pendukung Mursi Tewas

Seorang pria pendukung Presiden Mursi yang terluka akibat ditembak tentara, tengah dirawat di Kairo, Mesir, Senin (8/7). (AP/Ahmed Gomaa)
Seorang pria pendukung Presiden Mursi yang terluka akibat ditembak tentara, tengah dirawat di Kairo, Mesir, Senin (8/7). (AP/Ahmed Gomaa)

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Setelah insiden shalat Shubuh berdarah pada Senin (8/7) lalu, aksi protes para pendukung presiden terguling Muhammad Mursi sempat berlangsung damai. Namun, aksi protes damai itu terusik oleh aksi kekerasan militer terhadap demonstran pro Mursi pada Senin (15/7) malam waktu setempat.

Pendukung Mursi dan pasukan keamanan kembali terlibat bentrokan. Akibat bentrok ini, tujuh demonstran tewas. Muhammad Sultan dari Layanan Darurat Mesir mengatakan, ketujuh korban itu tewas pada empat lokasi berbeda di Kairo. Dua orang tewas di Jembatan 6 Oktober yang menjadi lokasi kejadian.

"Lima lainnya tewas di Distrik Giza karena bentrokan yang berlanjut sampai Selasa (16/7) dini hari,” kata Sultan kepada Reuters seperti dilansir Aljazirah. Khaled el-Khateib dari Kementerian Kesehatan Mesir mengungkapkan, 261 orang juga mengalami luka-luka dalam aksi kekerasan yang terjadi pada tengah malam itu. Kantor Berita Mesir juga mengklaim 17 polisi mengalami luka-luka dan 401 orang telah ditangkap.

Ketegangan kembali meningkat setelah pendukung Mursi berkumpul di Alun-Alun Ramses. Mereka sempat memblokir Jembatan 6 Oktober yang merupakan akses utama di Ibu Kota Mesir. Aljazirah melaporkan, bentrokan itu melibatkan kepolisian, sedangkan militer berada di luar. Polisi menggunakan gas air mata dan peluru karet untuk memukul mundur para pendukung Mursi.

Ketegangan memuncak setelah sejumlah demonstran berusaha melindungi wajah mereka dari gas yang menyengat. Sebagai aksi balas, mereka melemparkan batu ke arah petugas. Banyak korban cedera mendapat perawatan di bangsal darurat. Sebagian lainnya dirawat dalam ambulans di tempat kejadian. Bentrokan menandai konfrontasi kekerasan pertama yang melibatkan demonstran pro Mursi selama satu pekan terakhir.

Mursi digulingkan dari kursi presiden pada 3 Juli lalu melalui kudeta militer. Sejak itu, pendukung Ikhwanul Muslimin menggelar aksi protes atas kudeta tersebut. Aksi itu dilakukan di seluruh negeri. Di Kairo, pendukung Mursi menggelar aksi damai di luar Masjid Rabia Aladawiya di Nasr City.

Mereka menuntut militer membebaskan Mursi yang menjadi presiden pertama Mesir yang terpilih secara demokratis melalui pemilu. Mereka juga menuntut militer agar mengembalikan tokoh Ikhwanul Muslimin itu ke kursi presiden. Pendukung Mursi menolak rencana transisi baru Mesir dan pengangkatan Presiden interim Adli Mansur.

Konfrontasi berdarah menyusul penggulingan Mursi dimulai sejak pekan lalu. Pada Senin (8/7), militer menembaki pendukung Mursi yang sedang shalat Shubuh. Pembantaian ini menyebabkan 53 orang meninggal. Adli Mansur telah meminta Ikhwanul Muslimin bergabung dengan pemerintahan transisi sehingga memiliki suara untuk memutuskan konstitusi, parlemen, dan presiden baru. Namun, Ikhwanul Muslimin (IM) menolak mentah-mentah tawaran tersebut.

Penerimaan atas tawaran itu berarti IM menyetujui kudeta militer terhadap Mursi. Selain itu, tidak ada jaminan militer tidak akan melakukan kudeta lagi jika Ikhwanul Muslimin kembali memenangi pemilihan umum.

Kekerasan pada Senin (15/7) malam terjadi hanya beberapa jam setelah Wakil Menteri Luar Negeri Amerika Serikat William Burns melakukan kunjungan perdana sejak Mursi digulingkan. Burns melakukan pembicaraan dengan pemerintahan interim Mesir dan pimpinan militer. Amerika Serikat telah dikritik karena sikapnya yang menimbulkan ambigu. Presiden AS Barack Obama meminta proses demokrasi di Mesir dilanjutkan, tapi enggan menyebut apa yang dilakukan militer sebagai kudeta.

Saat berada di Kairo, Burns tidak menyebut Mursi sebagai korban kudeta militer. Pengakuan kudeta memang bakal berdampak pada pembekuan bantuan AS kepada Mesir senilai 1,5 miliar dolar. Menurut Burns, AS yakin pemerintahan transisi merupakan kesempatan kedua untuk membentuk negara demokrasi di Mesir. Meski demikian, AS tidak akan berpihak pada siapa pun dalam konflik ini.

Menurut Burns, hanya rakyat Mesir yang dapat menentukan masa depan mereka. Karena itu, AS tidak berencana memaksakan demokrasi yang dilakukan di negerinya ke Mesir. “Kita tahu, Mesir harus melalui jalan mereka sendiri menuju demokrasi,” kata dia. n nur aini ed: ratna puspita

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement