Sabtu 13 Jul 2013 05:35 WIB
Buka Puasa

Mereka yang Berbuka di Jalan

  Sejumlah pengendara mobil berbuka puasa di pinggir jalan tol akibat terjebak kemacetan panjang di KM 57, Cikarang, Jawa Barat, Jumat (17/8).   (Prayogi)
Sejumlah pengendara mobil berbuka puasa di pinggir jalan tol akibat terjebak kemacetan panjang di KM 57, Cikarang, Jawa Barat, Jumat (17/8). (Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Kemacetan parah yang melanda Ibu Kota setiap harinya membuat warga menghabiskan banyak waktunya di jalanan. Gara-gara itu, tidak sedikit di antara mereka yang terjebak di jalan ketika azan Maghrib berkumandang. Fenomena itu juga terjadi selama bulan Ramadhan. Alhasil, kemacetan memaksa kaum Muslim untuk berbuka di jalan.

“Kecametan parah membuat saya membeli jajan di pinggir jalan karena jalanan macet parah,” kata Nurisman Gepeng, Kamis (11/7). Pria yang bekerja sebagai fotografer lepas di sekitaran perkantoran di Kuningan, Jakarta Selatan, ini mengaku tidak masalah berbuka puasa di jalan.

Dengan jam pulang kantor pukul 17:00 WIB dan rumah berada di kawasan Pasar Minggu, kadang ia mencoba mengejar waktu satu jam tersisa untuk bisa sampai rumah. Memacu sepeda motor di tengah padatnya kendaraan sering kali dilakukannya. Tapi, terkadang usahanya sia-sia lantaran di tengah perjalanan suara azan sudah didengarnya.

Selanjutnya, ia bakal membelokkan kendaraan untuk menunaikan shalat Maghrib terlebih dulu di mushala terdekat, sebelum melanjutkan perjalanan pulang. “Saya sudah sering berbuka di pinggir jalan. Tapi, masakan istri di rumah yang membuat saya tetap harus pulang,” ujar Nurisman.

Pengalaman serupa juga dialami pegawai swasta, Arief Setyadi. Pria yang berkantor di Jakarta Pusat ini malah sangat sering berbuka di pinggir jalan. Jam pulang kerja yang terlalu mepet dengan waktu berbuka membuatnya harus berbuka di pinggir jalan atau sekalian menghabiskan waktu Maghrib di kantor.

Kalau di tengah jalan, tidak jarang ia memilih ke mushala atau masjid terdekat untuk mencari takjil demi membatalkan puasa. Rumahnya yang berada di kawasan Tangerang Selatan membuatnya realistis tidak terlalu mengejar waktu untuk bisa sampai di rumah ketika Maghrib datang. Meski mengendarai sepeda motor yang bisa diandalkan menembus kemacetan, jarak tempuh 20 kilometer tetap tidak terkejar.

Alhasil, ia jarang makan menu yang disediakan orang tua di rumah. “Jarak rumah ke tempat kerja sekitar 1,5 jam. Ini penyebab saya kadang berbuka di jalanan,” kata Arief. Ia menyatakan, ada kenikmatan tersendiri dengan pengalaman berbuka di jalanan. Selain bisa kenal dengan pengendara lain, ia juga merasakan persaudaraan di antara sesama warga yang puasa ketika berbuka di mushala.

Pengalaman seru didapat Nurul Adriyana Salbiah. Perempuan yang bekerja di sekitaran Monas, Jakarta Pusat, ini beberapa kali berbuka di bus dalam perjalanan pulang ke rumahnya di Karawaci, Kabupaten Tangerang. Lagi-lagi, persoalan kemacetan akut membuat jadwal berbuka di rumah meleset.

Bus besar yang tidak bisa melaju kencang mengakibatkan perjalanan pulang menjadi lebih lama karena jam kemacetan mencapai puncaknya menjelang Maghrib. Biasanya, untuk menyiasati itu, ia memilih membeli air mineral dan kue untuk mengganjal perut. Hal itu juga dilakukan penumpang lainnya yang juga baru pulang kerja, sehingga pemandangan itu kadang membuatnya bersyukur.

“Sama-sama senasib berbuka di bus membuat kenikmatan tersendiri bisa berbuka di jalan,” ujar Nurul. ed: ferry kisihandi

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement