Selasa 02 Jul 2013 08:24 WIB
Konflik Suriah

UE Didesak Segera Persenjatai Oposisi Suriah

Penduduk berlarian mencari perlindungan di Provinsi Raqqa, timur Suriah
Foto: Reuters
Penduduk berlarian mencari perlindungan di Provinsi Raqqa, timur Suriah

REPUBLIKA.CO.ID, Arab Saudi mendesak Uni Eropa (UE) segera mempersenjatai oposisi Suriah. Desakan itu dilontarkan Menlu Arab Saudi Pangeran Saud al-Faisal di sela-sela pertemuan para menlu Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan Kepala Kebijakan Luar Negeri Eropa Catherine Ashton di Manama, Bahrain, Senin (1/7).

“Sangat penting bagi UE untuk membantu oposisi,” ujar Pangeran Saud. Terlebih, lanjut dia, selama ini rezim Suriah pimpinan Presiden Bashar al-Assad mendapat suplai senjata dari Iran dan Rusia serta bantuan di medan tempur dari para pejuang Hizbullah.

Sementara, di depan forum pertemuan GCC dan UE di Bahrain, Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Catherine Ashton mengatakan, semua pihak harus bekerja keras untuk mencapai solusi politik yang menuju pada perdamaian di Suriah. Ashton dan para menlu GCC juga menyatakan kekhawatirannya atas meluasnya konflik sektarian ke negara tetangga Suriah, seperti Lebanon dan Irak.

Agar perang saudara di Suriah tak semakin memburuk, Menlu Bahrain Syekh Khalid bin Ahmed al-Khalifa menyeru presiden Iran yang baru, Hassan Rowhani, untuk memainkan pengaruhnya terhadap Hizbullah, sehingga kelompok militan Syiah asal Lebanon itu bersedia menarik pejuangnya dari Suriah. “Keadaan di Suriah semakin kritis dan kami berharap Iran segera mengambil langkah untuk menarik pasukan asing dari sana,” ucap Syekh Khalid.

Satu hal yang perlu dicatat, presiden Iran tak memiliki wewenang langsung dalam kebijakan-kebijakan strategis, seperti hubungan dengan Suriah dan Hizbullah. Semua keputusan penting terkait hal ini diserahkan kepada Garda Revolusi dan pemimpin spiritual tertinggi, Ayatullah Ali Khamenei.

Sementara, terkait gempuran pasukan Pemerintah Suriah terhadap Kota Homs, Menlu Inggris William Hague berkomentar, pasukan Assad harus segera menghentikan serangan itu. “Saya juga menyeru rezim Assad untuk mengizinkan akses penuh misi kemanusiaan internasional untuk memasuki Suriah. Bagaimanapun, kekerasan harus diakhiri,” ujar dia.

Dalam upaya merebut kota ketiga terbesar di Suriah itu, pasukan pemerintah yang didukung para pejuang Hizbullah masih menggempur kota ini dengan roket, jet tempur, dan tank. Sejak perang saudara di Suriah meletus, Homs menjadi basis utama kaum oposisi. Sebulan setelah aksi demonstrasi anti-Assad dimulai, para pengunjuk rasa membawa bahan perbekalan, matras, dan makanan menuju pusat kota ini. Tapi, aparat keamanan kemudian menembaki para demonstran, hingga berkobarlah perang saudara yang tak kunjung usai hingga kini.

Seorang aktivis oposisi mengatakan, seluruh sambungan telepon di Homs mati sejak Sabtu (29/6), ketika militer Suriah menggempur kota itu dari udara. “Mereka mengerahkan semua jenis senjata,” ucap aktivis yang tak mau disebut namanya itu.

Ekonomi rontok

Perang saudara yang telah berkobar selama 27 bulan ini, seperti dikatakan Menteri Administrasi Daerah Suriah Omar al-Ibrahim, benar-benar menghancurkan negara ini. Sedikitnya, 9.000 gedung pemerintah hancur, hingga kerugian negara mencapai 15 miliar dolar AS (sekira Rp 148 triliun). Hal ini tentu saja merontokkan ekonomi Suriah. Ia mengatakan, kerugian tersebut dihitung berdasarkan kerusakan ruang publik di negeri itu.

Sementara, mantan menteri Perencanaan Suriah Abdullah al-Dardari mengatakan, kerugian ekonomi negeri itu bisa mencapai 60 miliar dolar AS - 80 miliar dolar AS. Pertumbuhan ekonomi Suriah juga terjun bebas hingga 35 persen. Jumlah pengangguran pun meningkat menjadi 2,5 juta orang dibandingkan sebelum perang yang hanya 500 ribu orang. Sedangkan, nilai mata uang Suriah merosot dari 47 menjadi 200 pound per dolar AS. n ichsan emrald alamsyah ed: wachidah handasah

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement