Sabtu 29 Jun 2013 09:08 WIB
Tarif Angkutan

Kenaikan Tarif Angkutan Terganjal Politik

Sejumlah angkutan umum memasang pengumuman daftar tarif sementara pasca kenaikan harga BBM bersubsidi di Terminal Depok, Jawa Barat, Ahad (23/6).
Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Sejumlah angkutan umum memasang pengumuman daftar tarif sementara pasca kenaikan harga BBM bersubsidi di Terminal Depok, Jawa Barat, Ahad (23/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa daerah belum menetapkan tarif angkutan umum meski kenaikan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sudah diumumkan sejak satu pekan lalu. Penetapan tarif angkutan umum dinilai terganjal tarik-menarik politik di daerah.

Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Perhubungan Bambang S Ervan mengatakan, terjadi tarik ulur antara kepala daerah dan pengusaha angkutan umum. Kenaikan BBM bersubsidi dipastikan membuat operasional angkutan umum meningkat. Meski demikian, para kepala daerah sulit untuk menetapkan tarif karena takut memberatkan masyarakat. Mereka takut dianggap tak berpihak pada masyarakat. “Hal itu terkait unsur politis,” kata dia, Jumat (28/6).

Bambang menambahkan, kepala daerah harus terus menegosiasikan angka kenaikan tarif secara efektif dan tepat agar masalah kenaikan tarif angkutan cepat selesai. Penetapan tarif juga harus dilakukan secara bijak.

Agar pembahasan lebih cepat selesai, kata Bambang, pemerintah daerah harus memberikan insentif kepada para pengusaha angkutan. Insentif yang bisa diberikan oleh pemerintah daerah, yaitu tarif retribusi, izin rute, pajak kendaraan, dan biaya lainnya.

Insentif ini dinilai bakal menekan biaya operasional yang dikeluarkan pengusaha angkutan, sehingga didapatkan tarif yang tidak memberatkan masyarakat. Jika tak dilakukan, Bambang menyatakan, para pengusaha transportasi umum akan mematok tarif yang tinggi. “Karena mereka sudah menghitung untung rugi dampak kenaikan BBM,” ujar dia.

Seluruh daerah sebenarnya sudah menghitung besaran kenaikan tarif angkutan umum. Meski demikian, sebagian besar pemerintah daerah belum juga mengeluarkan keputusan tarif angkutan yang baru. Padahal, kondisi ini merugikan awak angkutan umum dan masyarakat.

Di Jakarta, tarik ulur tidak hanya melibatkan pengusaha angkutan dan pemerintah setempat, melainkan DPRD. DPRD DKI Jakarta memutuskan menunda pengumuman kenaikan tarif angkutan umum hingga Senin (1/6).

Alasannya, permohonan kenaikan tarif yang diusulkan Dinas Perhubungan DKI belum lengkap. Usulan kenaikan tarif hanya mengakomodasi pengusaha angkutan umum, sedangkan hak-hak penumpang belum dibahas.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama enggan mengomentari sikap DPRD yang menunda mengumumkan kenaikan tarif angkutan umum. Pria yang disapa Ahok ini menyerahkan pada warga DKI Jakarta untuk menilai sikap anggota dewan tersebut. “Soal itu, aku enggak bisa (komentar), namanya juga yang terhormat, susah kan. Biar warga yang menilai," ujar dia. Di Denpasar, Bali, Organisasi Angkutan Darat (Organda) dan Dishub setempat sudah sepakat dengan kenaikan tarif angkutan umum sebesar 33 persen. Artinya, ongkos angkutan kota (angkot) naik dari Rp 5.000 menjadi Rp 7.000.

Meski demikian, kenaikan tarif baru akan diputuskan Senin pekan depan. “Angka itu baru bocoran, belum ada tarif resmi," kata Parwata, sopir angkot di Denpasar. Ketua Organda Denpasar I Gede Semara mengatakan, kenaikan tarif masih menunggu persetujuan Pemkot Denpasar.

Di Palembang, pemerintah setempat juga baru akan menetapkan kenaikan tarif baru pada Senin mendatang. Kepala Bidang Transportasi Darat Jalan dan Rel Dishub Kota Palembang Agus Supriyanto mengatakan, tarif baru angkot mengalami kenaikan 25 persen sampai 27 persen dari tarif yang berlaku sekarang.

Pada tarif yang lama, untuk ongkos angkot dalam kota Palembang, jarak terdekat angkot dan bus kota Rp 2.500 per penumpang kini naik menjadi Rp2.800 per orang atau mengalami kenaikan rata-rata 27 persen. Untuk tarif angkot dengan jarak terjauh menjadi Rp 3.500 dari sebelumnya Rp 2.700 per penumpang dan bus kota paling mahal Rp 5.000 per orang. n aldian wahyu ramadhan/ahmad baraas/maspril aries ed: ratna puspita

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement