Rabu 22 May 2013 10:38 WIB

Anak Bermasalah, Orang Tua Introspeksi Diri Dong

Rep: Reiny Dwinanda/ Red: Endah Hapsari
Berbincang hangat dengan anak akan membantu membentuk perilakunya/ilustrasi
Foto: parentdish.co.uk
Berbincang hangat dengan anak akan membantu membentuk perilakunya/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak orang tua mengeluhkan perilaku negatif anaknya. Entah itu malas belajar, suka berbohong, atau minder. Ketika masalah tersebut timbul, cobalah untuk bercermin. Bisa jadi, ada yang salah dengan cara ayah dan bunda berkomunikasi dengan anak.

 

Orang tua yang mengerti cara berkomunikasi yang tepat tak akan kesulitan mengarahkan anak. Permasalahan pengasuhan pun menjadi minim mewarnai interaksi antaranggota keluarga. “Anak juga akan tumbuh rasa percaya dirinya, disiplin, dan memiliki motivasi dalam dirinya,” ujar psikolog dari Lembaga Bantuan Psikolog dan Mediasi, Satu Consulting, dra Nana Maznah Prasetyo MSi.

Cara berkomunikasi seseorang mencerminkan jiwanya. Jiwa tiap individu bisa terlihat dari kalimat yang keluar dari mulutnya. Pemilihan kata dan intonasi suaranya juga menggambarkan hal yang sama.

Sementara itu, komunikasi yang dijalin dengan anak akan menjadi model mental, memengaruhi pandangan anak terhadap dirinya maupun pandangan dia kepada relasi. “Itu akan membentuk konsep diri anak,” papar Nana.

Komunikasi yang baik antara orang tua dengan anaknya dapat dibangun sejak ananda masih berada di dalam kandungan dan dijaga hingga kapanpun. Dengan begitu, hubungan orang tua dengan anaknya akan lebih positif. “Anak yang dibesarkan dengan pola komunikasi positif lebih berkembang dan nyaman menjadi diri sendiri,” tutur Nana.

Komunikasi yang akrab dan hangat menjadi jembatan menuju keharmonisan keluarga. Tiap anggota keluarga akan saling menghargai dan menerima perasaan masing-masing. “Anak berperilaku baik saat ia mampu mengatasi perasaannya,” imbuh Nana.

Orang tua terkadang secara tak sadar melontarkan kata-kata yang menampik perasaan yang anak tunjukkan. Misalnya dengan berkata, “Nggak usah sedihlah” atau “Ah, sebetulnya kamu nggak merasa seperti itu”. Ketika perasaannya didikte, anak jadi kesulitan mengenali dan memahami rasa yang berkecamuk di dadanya. “Itu juga kerap menjadi bahan perdebatan antara orang tua dengan anaknya,” ucap Nana.

Untuk itu, cobalah ayah dan bunda menempatkan diri di posisi anak. Jangan biarkan anak kehilangan kepercayaan kepada persepsinya sendiri dan menjadi tergantung dengan persepsi orang tua. Kala orang tua memiliki perbedaan perasaan dengan anak, berempatilah. Demikian pula saat anak mengungkapkan perasaannya. Bukan nasihat yang ia butuhkan, melainkan respons positif penuh perhatian dari ibu dan bapaknya.

Ketika anak menceritakan perasaannya, tinggalkan sejenak pekerjaan Anda. Luangkan waktu untuk mendengarkannya. Tatap matanya dan dengarkan dengan penuh perhatian. “Di hati terdalam seorang anak, ia ingin dinomorsatukan oleh kedua orang tuanya,” ungkap Nana.

Saat mendengarkan anak bercerita dan mengungkapkan perasaanya, sebaiknya orang tua tidak membeo atau mengulang kata-kata. Misalnya anak berkata “Aku nggak mau lagi berteman dengan Tuti”. Ibu tak perlu menjawab, “Kamu nggak mau lagi berteman denga Tuti?” Pengulangan semacam ini hanya akan membuat anak merengut. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement