Selasa 21 May 2013 08:32 WIB
Kartu Jakarta Sehat

RS Penolak KJS tak Bisa Disalahkan

  Seorang nenek warga Marunda, Jakarta Utara menunjukkan kartu Jakarta Sehat, yang diberikan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Senin (12/11). (Adhi Wicaksono)
Seorang nenek warga Marunda, Jakarta Utara menunjukkan kartu Jakarta Sehat, yang diberikan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo. Senin (12/11). (Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta tidak bisa menyalahkan 16 rumah sakit (RS) swasta yang mundur dari program Kartu Jakarta Sehat (KJS). Sebab, posisi RS hanya membantu Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta saja.

Anggota Komisi E DPRD DKI Jakarta Igo Ilham mengatakan, sistem KJS harus dibenahi. Sebab, sistem yang berjalan saat ini justru merugikan pihak RS. Dia menyebut, sistem klaim yang menggunakan Indonesia Case Based Group (INA-CBG) dari PT Askes itu tidak bisa mencakup seluruh tagihan rumah sakit.

Untuk layanan operasi bedah misalnya, pemerintah hanya bisa membayar sekitar 30 persen saja dari total biaya. Sementara, untuk layanan rawat inap, pemerintah hanya membayar 60 persen. Untuk layanan rawat jalan, kata dia, pemerintah membayar 80 persen dari total tagihan. “Efeknya rumah sakit rugi. Siapa pun yang membuat kerja sama tentu tidak mau rugi,” kata Igo ketika dihubungi Republika, Senin (20/5).

Igo juga menambahkan, Dinas Kesehatan DKI harus melakukan rapat intensif dengan PT Askes sebagai lembaga pemverifikasi dan Kementerian Kesehatan sebagai regulator untuk membuat perbaikan sistem. Dia juga menyarankan agar Pemprov DKI Jakarta tidak menggunakan pola INA-CBG lagi, tetapi menggunakan pola sendiri dalam menentukan kriteria klaim untuk pasien KJS.

KJS yang digelar atas kerja sama Pemprov DKI Jakarta dan PT Akses ini dinikmati sekitar 4,2 juta warga Jakarta. Sebelumnya, DKI telah mengajukan premi sebesar Rp 50 ribu per orang per bulan. DPRD DKI Jakarta juga telah menyetujuinya. Namun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) secara nasional telah menganggarkan bahwa premi layanan kesehatan untuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) hanyalah Rp 23 ribu per orang per bulan. Namun, Menteri Keuangan hanya menyetujui Rp 15.700.

Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tidak mempermasalahkan pengunduran diri RS swasta. Namun, dia meminta pihak rumah sakit untuk memberikan bukti alasan kerugiannya dan kemudian mengevaluasinya. Evaluasi akan dilakukan terkait premi untuk setiap orang yang berobat menggunakan anggaran KJS.

Ahok mengakui bahwa sebenarnya dari awal RS merasa keberatan dengan premi Rp 23 ribu. “Tetapi, tidak mungkin kita berargumentasi dengan pusat terkait premi BPJS yang hanya Rp 15.700. Padahal, kita telah membayar premi setiap orang sebesar Rp 23 ribu, itu pun mereka (rumah sakit) mengeluh rugi,” ujar Ahok di Balai Kota.

Awal penerapan KJS juga sempat membuat 92 RS pesertanya kewalahan menghadapi lonjakan pasien dari warga kurang mampu yang ingin menikmati pengobatan gratis. Proses pengajuan KJS sebenarnya harus melalui puskesmas. Ketika puskesmas tidak mampu menangani pasien, pihak puskesmas baru diperbolehkan merujuk pasien ke RS. Setelah 16 RS mundur, masih ada 76 RS yang menjadi rujukan puskesmas untuk KJS.

Evaluasi KJS akan dilakukan selama dua bulan ini, terutama besaran premi yang layak sehingga RS peserta program ini tidak merugi. “Ini harus dievaluasi. Kalau memang tidak cukup, kita akan meminta pada DPR, Menteri Keuangan, dan Menteri Kesehatan untuk menaikkan nilai premi secara nasional,” ujar Ahok.

Selain evaluasi premi KJS, Ahok juga meminta RS menyampaikan laporan penanganan pasien untuk dievaluasi boros tidaknya RS mengeluarkan biaya untuk pasien KJS. Selain itu, Pemprov DKI akan berusaha menghilangkan pajak 10 persen untuk alat kesehatan. Ahok mencontohkan, biaya pengobatan jantung di Indonesia lebih mahal dua kali lipatnya dibandingkan India.

Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) beralasan RS yang mundur dari KJS tersebut berorientasi keuntungan. Selain itu, manajemen kontrol biaya rumah sakit sejak lama tidak ada pengendaliannya, sehingga mengeluarkan biaya yang tidak efisien. “Mereka merasa, premi Rp 23 ribu tidak cukup,” ujar Jokowi.

Jokowi mengingatkan, dengan INA CBG maka semua diatur dengan sistem, tidak seperti dulu siapa pun dapat memutuskan sendiri obat yang akan digunakan. Sedangkan, masalah premi yang tidak cukup Jokowi tetap harus menghitungnya. Perubahan APBD harus diajukan ke DPRD. Karena, setiap kenaikan premi juga akan menaikan anggaran. “Kalau dinaikkan, nantinya harus mengubah APBD juga,” ujarnya. n c01/c72 ed: rahmad budi harto

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement