Senin 20 May 2013 09:07 WIB
Pencucian Uang

Jerat Pencucian Uang Belum Merata

Pencucian Uang (Ilustrasi)
Foto: businesstm.com
Pencucian Uang (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU) belum berjalan maksimal. Beberapa terpidana kasus korupsi dan suap lolos dari pasal ini. Sementara, terduga korupsi lainnya sudah terjerat pasal di TPPU di awal proses penyidikan.

"Perlu adanya dorongan penerapan terhadap perkara-perkara lainnya juga," kata aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun, Ahad (19/5). Dia menilai, beberapa koruptor yang sudah mendapat vonis dalam kasus korupsi dan suap, juga berpeluang dijerat pasal TPPU.

Tama mengatakan, terpidana kasus suap mantan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat Angelina Sondakh tak terkena pasal TPPU. Terpidana kasus suap mantan bendahara umum Partai Demokrat M Nazaruddin juga hanya terkena pasal TPPU yang terkait dengan perilaku pribadinya, yakni pembelian saham PT Garuda Indonesia.

Pasal TPPU terhadap Nazaruddin tak dikaitkan dengan partainya atau para petinggi partainya. Dalam UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, pidana sebenarnya dapat dijatuhkan terhadap badan hukum atau pengendalinya apabila TPPU dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan badan hukum itu.

Politisi yang terjerat pasal TPPU adalah mantan anggota Fraksi Partai Amanat Nasional Wa Ode Nurhayati karena pencucian uang selama 2010 hingga 2011 senilai Rp 50,5 miliar. Mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq juga kini berstatus tersangka TPPU kasus kuota impor daging sapi.

Penerapan pasal TPPU itu membuat KPK berupaya menyita aset Luthfi berupa enam mobil mewah di kantor DPP PKS pada Senin (13/5). Proses penyitaan ini sempat mendapat perlawanan dari PKS karena menganggap KPK tak membawa syarat memadai dalam penyitaan. Namun, pada Rabu (15/5), KPK menbawa dokumen lengkap untuk penyitaan.

Tama mengatakan, penerapan TPPU terhadap Luthfi ini seharusnya menjadi momen bagi KPK untuk menerapkan pasal serupa terhadap koruptor lain. KPK tidak punya lagi alasan untuk tak menerapkan pasal ini karena sudah memiliki UU No 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberatasan TPPU. Sebelum ada UU ini, KPK tak bisa menangani TPPU.

Pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia Muzakir memandang tudingan bahwa KPK pilih-pilih dalam menggunakan jerat pencucian uang tak sepenuhnya benar. "Iya, benar ini perilaku diskriminatif. Tapi, itu jika koruptor lain sampai saat ini tidak KPK jerat dengan pasal tersebut sekalipun persidangannya telah usai," kata dia, kemarin.

Kasus Angelina Sondakh bisa menjadi role model dalam menilai sikap KPK. Angelina saat ini belum terkena jeratan pasal TPPU. Dia hanya divonis 4,5 tahun dan denda Rp 250 juta atas kasus suap. Apabila KPK memproses kembali Angelina dengan TPPU, KPK bisa membuktikan dirinya tak diskriminatif,

Muzakir menambahkan, KPK juga bisa saja melakukan tindakan gegabah menerapkan pasal TPPU kepada Luthfi apabila tidak menelusuri kebenaran harta yang Luthfi miliki ialah hasil korupsi. "Kalau tidak yakin dan punya hasil penelitian awal ke mana uang Luthfi mengalir, lebih baik dipikirkan kembali," ujarnya.

 

Juru Bicara KPK Johan Budi menegaskan, KPK tidak tebang pilih dalam menerapkan TPPU. Selain itu, tak semua koruptor bisa dikenai pasal ini. "Kita jangan memandang secara membabi buta untuk semuanya dikenakan tindak pidana pencucian uang. Harus ditemukan dulu unsur-unsur yang memenuhinya," kata dia. n irfan fitrat/gilang akbar prambadi ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement