Rabu 15 May 2013 01:09 WIB
Seni Pertunjukan

Menggeliatnya Seni Pertunjukan

Penampilan vokalis GIGI band, Armand Maulana, di salah satu pertunjukan musik besar Indonesia.
Foto: ROL/Fafa
Penampilan vokalis GIGI band, Armand Maulana, di salah satu pertunjukan musik besar Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID,  Dulu menonton pertunjukan teater atau seni budaya hanya monopoli sebagian kalangan tertentu. Kesan berat, mahal, dan perlu usaha ekstra demi memahami cerita, membuat orang berpikir-pikir untuk datang menonton seni pertunjukan.

Kehadiran Onrop! Musikal besutan Joko Anwar, akhir 2010 mulai membawa perubahan pada dunia seni pertunjukan Tanah Air. Mendapat sambutan meriah di sosial media, Onrop! sukses menjaring penonton dari kalangan muda.

Sukses besar dengan pertunjukan Matah Ati yang sampai dikenal secara internasional, membuat seni pertunjukan segera naik kelas. Menonton seni pertunjukan tak hanya dipandang memiliki gengsi, tapi juga hiburan tersendiri.

Sutradara senior Garin Nugroho pada suatu kesempatan sempat mengungkapkan bahwa saat ini antara satu karya seni dan yang lainnya memang saling terkait. Misalnya, dari film, kemudian berlanjut ke instalasi seni.

Atau, kata Garin, dari film layar lebar, kemudian hijrah ke panggung musikal, seperti yang terjadi pada Laskar Pelangi. Pertunjukkan Opera Jawa Selendang Merah yang digarap Garin pertengahan April lalu juga berangkat dari film yang berjudul sama dengan karyanya.

Kendala infrastruktur

Tak hanya Garin, sutradara Nia Dinata juga mengakui adanya tren serupa. Menurutnya, sudah sejak dulu film memiliki keterkaitan tersendiri dengan jenis seni lainnya.

Tak hanya di Indonesia, katanya, di Hollywood juga terjadi hal yang sama. “Yang terbaru adalah Les Miserable yang diangkat jadi film. Awalnya,  Les Miserable kan dari novel dan teater, jadi bukan hal baru,” ujar Nia yang baru saja sukses menggelar pertunjukan sendratari.

Menurut Nia, Indonesia justru sedikit ketinggalan dalam mengeksplorasi keterkaitan antara satu karya seni dan lainnya. Keterbatasan infrastruktur yang mendukung pertunjukan seni menjadi salah satu penyebabnya. 

Geliat seni pertunjukan mulai ramai, ujar dia, terjadi setelah Gedung Teater Jakarta resmi berdiri. Sejak itu, seni pertunjukan seakan mendapat wadah yang layak bagi para seniman Tanah Air unjuk gigi.

Dulu, di Jakarta khususnya, memang hanya memiliki satu tempat menampilkan seni pertunjukan, yaitu Gedung Kesenian Jakarta. Setelah sekian lama menunggu, para seniman Indonesia akhirnya memiliki tempat baru, yaitu Teater Jakarta di kawasan Taman Ismail Marzuki.

Keterbatasan infrastruktur bagi seniman juga diakui artis senior Jajang C Noer. Menurutnya, selama ini seni pertunjukan tak pernah mati. Maraknya berbagai pertunjukan dalam beberapa waktu belakangan, juga bukan pertanda seni pertunjukan telah memasuki era kebangkitan. “Selama ini, seni pertunjukan hanya tak mendapat tempat yang representatif,” ujarnya.

Apalagi, area tempat pertunjukan yang terletak di pusat kota tak jarang membuat sebagian calon penonton enggan menempuh perjalanan. Belum lagi, katanya, kemudahan teknologi membuat masyarakat lebih memilih hiburan lain dibanding seni pertunjukan.

 

Bagian Gaya Hidup

Pendapat berbeda datang dari Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation Renitasari. Menurutnya, kini seni pertunjukan justru telah menjadi gaya hidup masyarakat ibu kota.

Tingkat kemacetan yang luar biasa di Jakarta, justru menjadi faktor pendukung tumbuhnya minat masyarakat pada seni pertunjukan. “Daripada langsung pulang dan bermacet-macetan, kini pertunjukan seni bisa jadi alternatif seru,” ujar Renitasari.

Besarnya minat masyarakat pada pertunjukan seni dan posisinya yang telah menjadi bagian gaya hidup terlihat dari suksesnya hampir semua pertunjukan yang digelar Djarum Bhakti Budaya.

Menurutnya, dari setiap gelaran seni pertunjukan yang didukung Djarum Bakti Budaya, hampir 90 persen tiket terjual habis. Persentase tersebut dihitung untuk rata-rata tiga sampai empat hari pertunjukan.

Bahkan, ujar Renita, untuk teater-teater besar, seperti Teater Koma, tak jarang penyelenggara harus menggelar pertunjukan ekstra karena banyaknya penonton yang penasaran. Uniknya lagi, tiket yang murah justru lebih susah dijual ketimbang tiket yang berharga mahal.

Untuk urusan menonton seni pertunjukan, ternyata penikmat seni Indonesia lebih mementingkan kenyamanam ketimbang uang. “Orang sekarang inginnya dulu-duluan mencari tempat enak untuk nonton,” kata Renita yang bersama Djarum Bakti Budaya telah mendukung seni pertunjukan sejak 1992.

Selama lebih kurang tiga tahun terakhir, para pecinta pertunjukan seni telah dimanja oleh puluhan pertunjukan. Mulai dari Onrop!, Matah Ati, Laskar Pelangi, hingga Hanoman, semuanya hadir untuk dinikmati para pecinta seni.

Berbagai pertunjukan yang telah hadir, antara lain:

1. Onrop! Musikal (13-21 November 2010)

Dibesut sineas Joko Anwar, Onrop! Musikal banyak memuat kritik sosial. Bercerita tentang kondisi masyarakat pada 2010 dan larangan tampil seronok membuat Bramanto, penulis buku, dibuang ke Pulau Onrop. Ternyata, di sana para penduduknya penuh dengan toleransi dan kebebasan berekspresi.

2. Matah Ati

Telah berulang kali dihadirkan di dalam dan luar negeri, tiket pertunjukan Matah Ati tak pernah sepi pembeli. Diramaikan oleh sekitar 250 penari, Matah Ati bercerita tentang perjuangan, cinta, dan kesetiaan. Tak hanya menampilkan pertunjukan yang spektakuler, Matah Ati juga memukau dengan panggungnya yang sengaja dibuat miring.

3. Hanoman the Ultimate Warrior (Februari 2013)

Tak hanya Matah Ati, Hanoman juga telah berhasil dibawa sineas Indonesia berkeliling dunia. Lewat drama musikal, sutradara Mirwan Suwarso berhasil membawa Hanoman mengantongi sejumlah jadwal manggung di beberapa negara bagian di AS.

Pertunjukan Hanoman di AS bukan dalam rangka misi budaya atau pertunjukan gratis. Hanoman the Musical justru menjadi pilihan judul pementasan teater yang bersaing dengan sejumlah judul ternama di Broadway, seperti the Lion King.

4. Sampek Engtay (13-23 Maret 2013)

Meski telah 85 kali ditampilkan dalam 25 tahun terakhir, Sampek Engtay masih memiliki daya magnetnya tersendiri. Bercerita tentang kisah cinta tak sampai, kisah asal Negeri Tirai Bambu ini diambil dari cerita berusia ratusan tahun.

Tak hanya sering tampil di pentas seni, Sampek Engtay juga kerap tampil dalam film, ketoprak, dan sandiwara radio. n gita amanda ed: setyanavidita livikacansera

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement