Ahad 12 May 2013 08:23 WIB
Aksi Terorisme

Mahfud: Penanganan Terorisme Jangan Represif

Mahfud MD
Foto: Republika/Prayogi
Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID,  BANDUNG -- Aksi-aksi teror harus segera diatasi. Namun demikian, penanganannya jangan sampai dilakukan dengan tindakan represif. Demikian ditegaskan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, seusai menjadi pembicara dalam sebuah seminar di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (11/5).

Menurut Mahfud, petugas kepolisian harus berhati-hati dalam menumpas aksi-aksi pelaku terorisme yang akhir-akhir ini cukup marak. Apalagi, melakukan penangkapan hingga pelumpuhan terduga teroris tanpa disertai bukti-bukti yang kuat. Sebab, kata dia, bisa saja hal tersebut hanya isu semata atau sekadar aspirasi, tapi oleh aparat disikapi sebagai terduga teroris.

Ia mengimbau aparat kepolisian bisa lebih terbuka dalam menentukan seseorang tersebut teroris atau bukan. "Artinya, kapan seseorang itu dianggap melakukan gerakan terorisme itu. Jadi, jangan dicampuradukkan dengan gerakan aspirasi biasa," tegasnya.

Ketua Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai menegaskan, penembakan terhadap terduga teroris bukanlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). BNPT menganggap penembakan mati teroris merupakan tindakan yang legal demi kepentingan umum.

Dia menganalogikan dengan koruptor. Untuk menangkap koruptor, kata dia, KPK bisa memanggil orang yang bersangkutan untuk dimintai keterangan. Namun, untuk menangkap teroris, BNPT tidak bisa memanggil mereka untuk datang. "Bagaimana mau nangkap orang dengan senjata di tangan dan bom di tubuhnya? Imbauan dan persuasi itu nonsense," ujarnya di Jakarta kemarin.

Dia juga mengatakan Densus 88 memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan inisiatif terhadap terduga teroris demi kepentingan umum. Hal itu, kata dia, sesuai dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Seperti diketahui, dalam beberapa hari terakhir Densus 88 menangkap 24 terduga teroris dari berbagai daerah. Di antaranya di Jakarta, Lampung, Kebumen, dan Bandung. Dari jumlah tersebut, 13 di antaranya ditembak mati Densus 88.

Ansyad menambahkan, jaringan teroris yang ditangkap Densus 88 itu juga pelaku perampokan di sejumlah bank dan merupakan pemain lama. Mereka adalah anak buah dari Abu Roban, terduga teroris yang telah dicari sejak 2012. Kelompok ini diketahui pernah melakukan perampokan di BRI Batang senilai 790 juta, BRI Grobogan senilai Rp 630 juta, dan BRI Lampung senilai 460 juta.

Dana dari hasil merampok itu, kata Ansyad, digunakan untuk membiayai pelatihan militer bagi kader-kader mereka serta membeli senjata dan bahan baku membuat bom. Ia meminta agar masyarakat berhati-hati terhadap tindakan terorisme. Sebab, kata dia, terorisme merupakan ancaman yang serius.

Faktor pemicu

Sementara itu, Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj mengatakan banyak faktor yang mendorong seseorang melakukan aksi terorisme itu. "Faktornya banyak, ada kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, kesalahpahaman memahami Islam," kata dia di sela-sela acara Dialog Ormas-Ormas Islam dalam Mempertahankan NKRI, di Jakarta, Sabtu (11/5).

Menurut dia, kesalahpahaman dalam memahami Islam itu disebabkan oleh adanya paham-paham radikalisme. Namun, dia memastikan tidak ada pesantren di Indonesia yang mengajarkan paham radikal yang akhirnya memunculkan bibit-bibit teroris. "Pesantren yang radikal itu hanya ada di Afghanistan dan Pakistan," kata Said.

Pesantren-pesantren yang ada di Indonesia, kata dia, justru yang mempertemukan budaya lokal dengan ajaran Islam. Terutama, lanjut dia, pesantren-pesantren yang berada di bawah Nahdlatul Ulama yang jumlahnya ada 21 ribu. Menurut dia, NU sebagai ormas Islam juga sudah berusaha menghilangkan bibit-bibit terorisme, yaitu melalui dakwah yang dilakukan para dai.

Di tempat berbeda, pengamat terorisme Mardigu Wowiek Prasantyo mengatakan, pertumbuhan jumlah teroris tampaknya semakin meningkat. Namun demikian, jumlahnya belum sebanding dengan personel intelijen. "Karena itu, tak ada alasan bagi polisi tidak bisa membekuk pelaku terorisme," tegasnya.

Menurut Mardigu, dari statistik yang didapatkan, orang-orang dengan pemahaman radikal diperkirakan mencapai 30 ribu orang di Indonesia. Namun, mereka hanya memiliki pemikiran radikal saja, tanpa ada penerapannya. "Yang angkat senjata itu tidak lebih dari 500 orang," ujarnya. n c01/c91/antara ed: syahruddin el-fikri

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement