Senin 22 Apr 2013 08:49 WIB
Pencabulan

Kasus Pencabulan Semakin Nodai Pendidikan

Pencabulan (ilustrasi)
Foto: bhasafm.com
Pencabulan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelar guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa kian luntur. Sejumlah oknum guru menjadi pelaku pelecehan seksual kepada siswanya. Pembenahan moral dan sanksi tegas sangat penting dalam menekan aksi memalukan oknum guru ini.

Dalam beberapa waktu terakhir, kasus pencabulan oknum pendidik sangat menonjol. Pada Selasa (16/4), Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Daerah Provinsi Kepulauan Riau menerima laporan seorang kepala sekolah pada salah satu SMP di Batam diduga melakukan pencabulan terhadap 15 orang siswinya.

Lima murid sebuah sekolah negeri di Kecamatan Kebonpedes, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, juga melaporkan gurunya kepada polisi karena perbuatan pencabulan pada Maret lalu. Mereka dipaksa oleh sang guru berbuat tidak senonoh dengan imbalan nilai pelajaran.

Dugaan pencabulan juga terjadi di Ibu Kota. Mantan wakil kepala SMAN 22 Matraman dilaporkan siswanya pada 9 Februari 2013. Laporan itu terkait dengan dugaan perbuatan cabul wakil kepala sekolah tersebut dalam periode Juni hingga Juli 2012.

Sebagian besar kekerasan anak juga terjadi dalam bentuk kekerasan seksual. Berdasarkan data Komisi Nasional Perlindungan Anak, terdapat 2.509 laporan pada 2011, 59 persen di antaranya adalah kekerasan seksual. Sementara pada 2012, terdapat 2.637 laporan, 62 persen di antaranya adalah kekerasan seksual.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh prihatin dengan kasus asusila dalam institusi pendidikan. Ia menilai, perbuatan asusila di sekolah bukan murni tanggung jawab sekolah. Nuh beralasan, hidup seorang anak tidak hanya di sekolah.

Orang tua dan masyarakat juga dinilainya harus ikut bertanggung jawab. "Begitu juga dengan media yang memiliki kewajiban untuk mendidik agar anak tidak terjebak pada kejadian yang sifatnya moralitas," kata Nuh, kemarin.

Pakar Psikologi Sosial dari Universitas Indonesia Ahmad Chusaini mengatakan, masyarakat terlalu bebas mengakses film porno. Stimulasi media ini mendorong kematangan seksual siswa, padahal secara sosial belum diizinkan melakukannya. Murid sekolah pun menjadi tidak lagi kaku dalam bergaul. Usia pacaran semakin muda.

Pelaku pencabulan memang tak bisa digeneralisasi berasal dari kalangan guru. Namun, kata Ahmad, dalam hubungan guru dan murid, guru adalah pihak yang lebih berkuasa dibandingkan murid. Oleh karena itu, pemaksaan kehendak sangat mungkin dilakukan oleh guru.

Di mata hukum, perbuatan asusila dikatakan salah bila ada pemaksaan. Sedangkan di mata psikologi, perbuatan asusila terjadi karena ada peluang dari kedua pihak. "Institusi pendidikan adalah institusi yang suci, padahal tidak," katanya.

Pengamat pendidikan Darmaningtyas mengatakan, perilaku bejat oknum guru merupakan gambaran kemunduran dunia pendidikan Indonesia. Guru, kata dia, mengemban tugas untuk bersikap mulia. "Ini kejadian memalukan," ujar Darmaningtyas, Ahad (21/4).

 

Dia mengatakan, ulah bejat oknum pendidikan itu terjadi karena sejumlah hal. Pertama, pengaruh akses terhadap tayangan pornografi. Kedua, faktor biologis guru dan tumbuh kembang siswa yang sangat cepat. Ketiga, siswa masih memiliki budaya tunduk kepada guru. Menurut dia, peran pemerintah sangat penting dalam selalu memelihara moral tenaga pengajar Indonesia. Sanksi tegas menjadi salah satu solusi ampuh, seperti pemecatan dari sekolah dan profesinya. n ani nursalikah/c60/c72 ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement