Rabu 10 Apr 2013 08:00 WIB
Pesta Demokrasi

Politik Uang Tak Efektif

Politik Uang (ilustrasi)
Foto: Justice for Sale Alabama
Politik Uang (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Politik uang dinilai tidak efektif untuk meraup suara pada pemilihan umum kepala daerah (pemilukada). Sebab, uang tidak dapat mendikte pemilih untuk memilih calon tertentu tanpa ada kombinasi dengan faktor lain.

Direktur Pusat Studi Inisiatif Strategi (PSIS) Luky Djani mengatakan, berdasarkan hasil riset di lima wilayah yang menggelar pemilukada, ditemukan bahwa uang dalam praktik jual beli suara tidak bisa berdiri sendiri, sangat bergantung dengan mesin politik dan monitoring. Menurut dia, lemahnya mesin politik dan pola monitoring terhadap pemilih membuat politisi tidak dapat menjamin mereka akan memilih karena uang yang dia bagikan.

Terlebih, kata Luky, praktik jual beli suara berbeda dengan praktIk jual beli dalam mekanisme pasar yang formal sehingga tidak ada kontrak jual beli. Padahal, ujar dia, riset awal ini menemukan bahwa pelaku jual beli suara atau broker yang berusaha melakukan monitoring agar berjalannya jual beli suara berbuah pada hasil suaranya hanya dimungkinkan apabila ada “kontrak” sosial. “Namun, pelaku justru tidak ingin ada kontrak tertulis yang legal sehingga tidak bisa dipastikan uang yang dia bagikan sesuai dengan keinginannya,” kata Luky saat memaparkan hasil penelitiannya di kantor Republika, Selasa (9/4).

Menurut Luky, jual beli suara sangat bergantung dengan kondisi ekonomi serta ketergantungan pemilih terhadap patronnya dan timing atau momen pemberian uang maupun barang kepada pemilih. “Kalau di Sulawesi Selatan, politisi yang terakhir memberikan uang maka dia yang akan dipilih. Sedangkan, kalau di Aceh, siapa yang memberikan pertama maka dia yang akan dipilih,” kata Luky.

Dia menyimpulkan, kerumitan dalam jual beli suara justru akan menjebak politisi tersebut dalam lingkaran setan sesama politisi sehingga menimbulkan biaya politik tinggi. “Masyarakat kemudian juga berani memasang tarif sehingga memunculkan budaya wani piro,” katanya.

Ketua Departemen Politik dan Hubungan Internasional Center for Strategic and International Studies (CSIS) Philips Vermonte mengatakan, para politisi harus disadarkan bahwa ternyata politik uang dalam jual beli suara tidak efektif untuk dilakukan. Menurut dia, politisi seharusnya melakukan upaya meraup suara berbasis konstituen, membina hubungan dengan pemilih tidak hanya pada saat kampanye saja. 

Selain itu, kata Philips, yang perlu dibenahi untuk mencegah jual beli suara adalah sumber daya manusia (SDM) penyelenggara pemilu. Karena, dia melanjutkan, jual beli suara justru terjadi pada penyelenggara pemilu melalui manipulasi hasil perhitungan suara.

Manipulasi penghitungan suara, ujar dia, sering kali dimungkinkan karena faktor geografis daerah pemilihan yang luas sehingga membuka peluang terjadinya manipulasi suara tersebut. Selain itu, Philips mengungkapkan manipulasi suara paling rentan terjadi pada rekapitulasi di tingkat kecamatan.

Philips menambahkan, manipulasi penghitungan suara terjadi karena adanya jual beli suara antarpartai politik atau calon legislatif, khususnya di antara mereka yang perolehan suaranya kecil. Jual beli suara ini, dia melanjutkan, sangat mungkin diketahui komisi pemilihan umum daerah (KPUD) setempat melalui form C1. “Pada praktiknya penyelenggara pemilu justru menjadi penghulu terjadinya jual beli suara antara penjual dan pembeli suara,” kata dia.

Keterlibatan penyelenggara pemilu dalam proses manipulasi suara di tingkat bawah, menurut Philips, juga sangat mungkin terjadi, seperti pada kasus Pemilihan Legislatif 2009 di Kecamatan Gubeng, Surabaya. Modus lain yang bisa mengawali manipulasi administratif ini, kata Philips, terjadi dalam level penentuan lokasi TPS.

Karena itu, kapasitas SDM penyelenggara pemilu perlu ditingkatkan. Sayangnya, kata dia, peningkatan kapasitas SDM penyelenggara pemilu tidak berkesinambungan karena komisionernya tiap lima tahun diganti. “Sehingga, perlu ada institutional memory bagi lembaga penyelenggara pemilu,” ujarnya.

Menurut Philips, KPUD mengalami kendala dalam hal kapasitas merekrut anggota untuk menjadi penyelenggara di tingkat bawah. Berbeda dengan pola hubungan antara KPUD di tingkat propinsi dan KPU di tingkat pusat yang bersifat struktural, hubungan antara KPUD Propinsi dan KPU di level di bawahnya bersifat lepas atau sukarela. n ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement