Rabu 23 Jan 2013 14:37 WIB

Menyelesaikan Novel Pertama dengan 'NaNoWriMo'

Menulis cerpen, ilustrasi
Menulis cerpen, ilustrasi

Berawal dari cerita seorang editor sekaligus penulis novel, Dyah P. Rinni, tentang ajang National Novel Writing Month (NaNoWriMo) yang sangat membantunya menyelesaikan novel Detektif Imai 3. Akhirnya, membuatku tertarik untuk mengikuti pesta menulis tahunan tersebut di bulan November. Aku berharap dengan sensasi menulis sebuah novel secara berbarengan dengan "Wrimos" dari seluruh dunia dan sebuah target minimal 50.000 kata dalam 1 bulan, aku bisa menyelesaikan salah satu dari belasan calon novelku yang tak kunjung selesai >_<

31 Oktober, sebuah announcement masuk ke Inbox Nanomail-ku:

Halo!

Besok kita akan mulai merayakan pesta menulis tahunan bernama NaNoWriMo. Sudah siap dengan ceritamu?

Deg... aku belum menjatuhkan pilihan, novel mana yang akan aku lanjutkan ceritanya. Sampai kemudian, 1 minggu NaNoWriMo berlangsung, aku masih belum mulai menulis satu kata pun.

Sempat terpikir, "Ah sudahlah... ini kan bukan kompetisi dan nggak ada reward ataupun punishment yang akan aku terima jika tidak jadi ikut."

Namun di hari ke-8 saat menemani anakku main di sebuah playground, sebuah cerita terlintas di kepala dan iseng langsung aku ketikkan di handphone yang ada di genggaman. Jangan membayangkan handphone-ku itu adalah sebuah smart gadget yang memiliki fasilitas pengolahan kata yang memadai ataupun software khusus untuk menulis. Fasilitas di handphone-ku itu sangat standar, dan satu-satunya yang bisa aku jadikan media untuk menulis hanyalah SMS. Jadi aku menulis cerita itu di SMS yang kemudian aku simpan di draft.

Cerita yang mengalir begitu saja, tanpa outline, tanpa sedikitpun perencanaan. Dan ketika aku mengetik ulang semua itu tanpa mengedit selain typo, ternyata aku sudah berhasil mencapai angka lebih dari 6.000 kata. Seketika aku kembali bersemangat untuk ikut NaNoWriMo. Dan seketika aku juga bersemangat untuk mengikuti sebuah lomba menulis novel yang tengah menjadi target banyak penulis.

Aku sangat menikmati proses menulis cerita ini. Karena cerita ini menurutku cukup unik, jalinan kalimatnya mengalir begitu saja seiring dengan gerakan jemariku yang mengetikkannya di keyboard si Sapire (berasal dari type laptop, Aspire) laptop tua kesayanganku.

Tiap mulai mengetik kalimat-kalimatnya, aku tak pernah tahu kemana arah ceritanya, dan tak pernah tahu apa yang akan terjadi dengan tokoh-tokohnya. Aku selalu merasa penasaran dengan jalan ceritanya, dan rasa penasaran itu juga yang membuatku tekun untuk terus menulis.

Satu minggu menjelang November berakhir, aku sudah mencapai angka lebih dari 30.000 kata. Wow... itu sebuah rekor selama aku mulai menekuni dunia menulis. Aku cukup optimis bisa mengejar 20.000 kata lagi menjelang ajang ini berakhir. Karena tidak seperti setengah bagian pertama ceritanya yang tanpa perencanaan, menjelang ending aku sudah mempersiapkan beberapa alternatif jalan cerita yang bisa dipilih.

Sampai di suatu hari, sebuah tausiyah mengusik hati dan pikiranku. Mengusik idealismeku sebagai penganut sebuah kepercayaan. Sehingga menimbulkan konflik batin yang berbuah dilema. Jika aku lanjutkan menulis ceritanya dan mengikutkannya dalam sebuah lomba, dan seandainya menang terus dipublikasikan... apa aku siap dengan pengaruh ceritanya kepada pembaca? Oke, itu kalau seandainya menang, kalau tidak... ya tidak ada dampak apa-apa kan? Atau... ya tak usah saja ikut lombanya tapi tetap menyelesaikan ceritanya... tapi buat apa?

Mungkin sebagian orang bisa dengan simple mengatakan.. "Itu hanyalah sebuah cerita, sebuah fiksi, tak akan dianggap serius oleh pembaca." Tapi aku berkaca kepada diriku sendiri, bertahun yang lalu, sebuah novel bisa sangat mempengaruhi pola pikirku. Bisa saja satu dari sekian pembaca cerita itu kelak, juga akan seperti aku saat itu. Apa aku bisa bertanggung jawab? Karena cerita yang kutulis bersinggungan dengan romansa pasangan transgender yang banyak ditabukan di berbagai belahan dunia, begitu juga dalam kepercayaan yang aku anut.

Akhirnya, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi ceritanya dan membiarkan rasa penasaran terus membayangi jalan cerita yang telah terangkai. 20.000 kata terakhir, aku lengkapi dengan beberapa cerita pendek yang aku tulis setiap ada kesempatan. Yay.. now I'm a NaNo Rebel karena tidak menghasilkan sebuah novel utuh.

Satu hari menjelang 30 November, saatnya validasi kemenangan. Sempat ragu untuk ikut karena merasa "berdosa" tidak menghasilkan satu novel utuh, meski katanya NaNo Rebel dibolehkan. Kembali aku buka file novelku, dan meneruskan ceritanya. Untuk apa? Hanya untuk berlatih menyelesaikan sebuah novel, meski novel itu tidak akan pernah diterbitkan dan dipublikasikan dalam bentuk apapun.

15 menit menjelang November berakhir, aku berhasil menyelesaikan seluruh cerita. Ending-nya lebih ringkas dari yang aku rencanakan. Tapi cerita itu hanya berakhir di angka 49.760, masih kurang dari target. Sementara waktu terus berlari menuju pergantian bulan, dan mata pun telah letih menatap layar monitor si Sapire. Akhirnya aku putuskan menambah kekurangannya dengan sebuah cerpen, sehingga semua berjumlah 52.780 kata.

Meski itu terdiri dari 1 novel ditambah 1 cerita pendek yang siap aku kirimkan ke e-mail redaksi sebuah media, tapi ini merupakan rekorku dalam menulis. Aku berhasil menyelesaikan sebuah novel dan 3 buah cerita pendek. Total selama bulan November aku sudah menulis 58.492 kata. Aku harus merayakannya, memberi selamat juga mendapatkan sebuah penghargaan.

Bismillah aku entry novelku itu bersama 1 (saja) cerita pendek untuk mendapatkan sertifikat dan badge pemenang. Semoga tahun depan, aku bisa ikut lagi dengan sebuah novel utuh tanpa harus menambahnya dengan cerita pendek lagi.

Rita SY

Rubrik ini bekerja sama dengan komunitas penulis perempuan Women Script & Co

[email protected]

@womenscriptco

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement