Senin 05 Nov 2012 09:35 WIB

Mahasiswa Irak Raih Doktor di UII

Rep: Heri Purwata/ Red: Karta Raharja Ucu
Ilustrasi Toga
Foto: IST
Ilustrasi Toga

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN –- Mahasiswa S3 asal Irak, Gailan Hoshi Ali berhasil meraih gelar doctor dari Fakultas Ilmu Agama Islam (FIAI) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Ahad (4/11).

Ia dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan menjadi doctor pertama yang diluluskan Program Pascasarjana FIAI UII. Pria kelahiran Bagdad 24 November 1954 ini berhasil mempertahankan desertasi berjudul ‘Fleksibilitas pada Fiqh Imam Abu Hanifah’ di depan tim penguji yang diketuai Prof H Edy Suandi Hamid. Sedang promotornya, Prof H M Nur Kholis Setiawan dan Prof H Amir Mu’allim.

Dijelaskan Gailan Hoshi Ali, saat ini umat Islam menghadapi berbagai perubahan peradaban yang memunculkan berbagai persoalan. Di satu sisi, umat Islam ingin menegakan prinsip identitas keislaman sesuai dengan syariah Illahi.

Di sisi lain, umat Islam harus bisa mengikuti perubahan peradaban yang kemungkinan besar menyimpang dari syariat Islam. Agar kedua persoalan ini bisa sinergi umat Islam diwajibkan untuk mencari sebuah metode hidup yang sesuai dengan zamannya.

Dosen tamu Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memandang fikih Imam Abu Hanifah mempunyai aspek fleksibilitas terhadap kondisi umat saat ini. Fleksibilitas ini bisa menghindarkan perbenturan antar peradaban serta eksploitasi agama Islam oleh kekuatan-kekuatan global.

“Meski fleksibel, namun tetap bisa meneguhkan kembali prinsip-prinsip keislaman sejati dalam dunia Islam, baik secara pemikiran maupun tingkah laku,” kata Gailan yang tinggal di Sydney Australia.

Berdasarkan hasil penelitiannya, fikih Abu Hanifah menjaga teks Alquran dan As Sunnah. Artinya, berhenti berandai-andai apabila terdapat teks suci yang secara sanad, signifikan sah dan menyakinkan.

Selain itu, fikih Abu Hanifah memiliki ciri aktif melakukan 'qias' dengan pertimbangan maslahat atau dikenal dengan perhatian akan roh syariah. Fikih ini juga mempunyai wawasan pemikiran luas dan mengacu pada masa depan.

Fikih ini telah diterapkan pada bidang jurisprudensial, pendirian akidah dan politik, hak asasi manusia, dan hak perempuan. “Penyebab munculnya fikih Abu Hanifah, di antaranya, lingkungan politik yang pluralis, lingkungan budaya dan etnis yang plural, pembentukan kesadaran fikih dan budaya Imam Abu Hanifah yang luas dan mendalam, independensi financial Imam Abu Hanifah, dan debat-debat berbuah yang muncul dalam berbagai mazhab Islami di bawah pengaruh fikih Imam Abu Hanifah,” papar bapak empat anak ini.

Saat ini, kata Gailan, fleksibilitas fikih sudah berkembang cukup memadahi di Indonesia. Hanya saja, perkembangannya masih terhalang oleh sistem pendidikan yang masih memisahkan antara spesialisasi ilmu agama dan spesialisasi ilmu-ilmu kehidupan yang lain. “Adanya pembaruan fikih Islami ini dapat menempatkan ulang umat Islam sebagai Rahmatan Lil’alamin,” ujarnya menandaskan.

Advertisement
Berita Terkait
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement