Sabtu 23 Jun 2012 19:30 WIB

Keunggulan Hodgson Kala Melawan 'Gli Azzuri' Italia

 Roy Hodgson
Foto: Reuters/Nigel Roddis
Roy Hodgson

REPUBLIKA.CO.ID, KIEV - Seorang pelatih yang mampu bicara bahasa Italia dan memiliki kemampuan mumpuni soal Serie A setelah memimpin salah satu klubnya, kini akan berhadapan dengan Italia pada perempat final Piala Eropa 2012.

Siapa dia? Adalah pelatih Inggris, Roy Hogson pengganti Fabio Capello, yang telah meninggalkan Inggris pada Februari.

Walaupun belum tentu di bawah asuhan Capello Inggris mampu keluar sebagai juara grup, namun Hodgson juga tak bisa menjanjikan akan melibas Italia pada pertandingan perempat final di Kiev, Senin (25/6) dini hari.

Namun Hodgson punya kelebihan yang juga dipunyai Capello. Hodgson sangat mengerti akar perbedaan dari dua filosofi sepak bola antara Inggris dan Italia.

Hodgson memang punya gaya khas, konservatif namun tetap rendah hati dalam melatih tim asuhannya. Dan bagian paling penting dalam karier sepak bolanya adalah melatih Inter Milan pada era 1990-an. Inilah yang membuat Hodgson tahu betul gaya bermain sepakola ala Gli Azzuri.

Hodgson pun tak sempat mempersembahkan trofi apapun untuk Inter Milan, namun ia pernah membawa klub asuhannya ke laga final Piala UEFA 1997 sebelum akhirnya kalah adu penalti dari Schalke 04.

Sementara itu, banyak pula pelatih asal Italia yang mencoba peruntungan melatih klub-klub Inggris seperti Roberto Mancini yang sukses membawa Chelsea menggondol gelar Juara Liga Premier musim lalu, dan Roberto di Matteo yang membawa Chelsea keluar sebagai juara Liga Champions dan Piala FA bulan lalu.

Inggris dan Italia memang dua negara Eropa yang memiliki sepakbola yang mendominasi, namun kedua negara ini jarang bertemu di laga kompetisi internasional.

Pertemuan keduanya pada Senin dini hari adalah pertemuan ketiga mereka di turnamen besar setelah kemenangan Italia atas Inggris 1-0 pada Kejuaraan Eropa 1980 dan kemenangan Italia, 2-1 atas Inggris, pada perebutan tempat ketiga, Piala Dunia 1990.

Pertemuan antara Inggis dan Italia di Piala Dunia lainnya hanya pada babak kualifikasi 1978 dan 1998, dan sejak pertandingan persahabatan di Leeds sepuluh tahun lalu yang dimenangi Italia 2-1, keduanya tidak pernah bertemu lagi.

Pertandingan perempat final antara The Three Lions dan Gli Azzuri pada Senin dini hari akan menjadi pertandingan menarik yang mempertemukan kedua musuh besar.

Sementara Inggris akan bergantung pada permainan bola-bola panjang, Italia akan meningkatkan permainan yang atraktif dikombinasi dengan pertahanan yang solid.

Kebangkitan gaya sepakbola ala Spanyol, tiki-taka telah memacu tim asuhan Cesare Prandelli ini untuk mengembangkan gaya bermain yang hampir sama, walaupun para pemain Italia belum mampu beradaptasi dengan baik, dan punya kecenderungan untuk melupakan sistem ini, layaknya Inggris.

Saat ini Italia masih berusaha keras memperbaiki umpan-umpan silang menuju jantung pertahanan, suatu hal yang Inggris sudah mampu melakukannya dengan baik. Italia juga kesulitan mengeksekusi tendangan menjadi sebuah gol.

Selain itu umpan-umpan panjang pemain Italia pun dinilai lemah. Namun tak akan ada yang mampu memungkiri kemampuan brilian kedua kiper Italia dan Inggris, Gianluigi Buffon dan Joe Hart. Mereka berbagi kesamaan, tak akan meninju bola, dan lebih suka menangkap bola.

Walaupun pertemuan perdana antara Italia melawan Inggris telah berlangsung puluhan tahun lalu, tepatnya di Roma, 1933 pada sebuah pertandingan persahabatan, permainan kedua tim berkembang jauh bertolak belakang.

Italia adalah negara yang lebih unggul jika berbicara tentang klub sepak bola di dalamnya. Italia lebih dulu

menjadi tempat berlabuh para pemain papan atas dunia pada 1950-an dan 1960-an hingga menarik para pemain asal Swedia, trio Gunnar Gren, Gunnar Nordahl dan Nils Liedhom serta John Charles.

Pada 1960-an para pemain seperti Dennis Law, Omar Sivori, dan Kalrheinz Schnellinger pindah ke Italia, diikuti Michel Platini, Zbigniew Boniek, Diego Maradona, Marco van BAsten, Ruud Gullit dan Frank Rijkaard.

Bahlan mantan pemain tengah Inggris Ray Wilkins yang telah membela negaranya dalam 84 pertandingan menghabiskan tiga musim dengan AC Milan.

"Saya kira saya pesepakbola profesional sampai saya pindah ke Italia. Suasananya fantastis, saya belajar banyak di Milan, dan itu banyak mengubah permainan saya," ungkap Wilkins, seperti dikutip dari Reuters.

Namun, saat ini lebih banyak pemain papan atas dunia bermain di Liga Premier Inggris, seiring liga-liga di Italia yang banyak ditimpa masalah dan skandal. Apakah Inggris mampu menaklukan Italia?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement