Selasa 13 Mar 2012 09:36 WIB

Tradisi Subak Hadapi Bahaya dan Terancam Hancur?

Persawahan di Bali dengan sistem irigasi subak
Foto: in-tourism.com
Persawahan di Bali dengan sistem irigasi subak

REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR - Guru besar Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia mengingatkan bahwa organisasi pertanian tradisional di Bali atau "subak" saat ini menghadapi ancaman bahaya laten.

"Subak menghadapi ancaman bahaya laten kalau Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2006 tentang Irigasi diterapkan secara efektif," katanya di Denpasar, Selasa.

Ia menjelaskan bahwa UU tersebut memberikan peluang kepada pihak swasta untuk mengelola air. "Jika itu sampai terjadi, maka subak di Bali hancur," kata Ketua Kelompok Riset Sistem Subak Unud itu.

"Untuk mencegah pihak swasta dan investor semena-mena memanfaatkan air untuk kepentingan bisnis, maka perlu dibentuk lembaga Dewan Air (DA) dan Komisi Irigasi (KI)," tegasnya.

Pemerintah Provinsi Bali maupun pemerintah Kabupaten dan kota di daerah ini, ujarnya, sama sekali tak terlihat acuh terhadap bahaya laten tersebut yang mengancam sektor pertanian dan organisasi pengairan tradisional yang selama ini diwarisi secara turun temurun.

Windia juga mengkritik tidak berkesinambungan program-program di Bappeda Bali. "Tujuh tahun lalu saya bersama dengan Made Mudina, Wayan Gerya, dan Sushila Djelantik di bawah koordinasi Prof Norken, bertugas sebagai tim ahli (teknis) di Bidang Fisik, Bappeda Bali. Tugasnya mengkaji efektivitas kelembagaan dalam bidang sumberdaya air di Bali, berkait dengan munculnya UU No. 7 tahun 2004 dan PP No. 60 tahun 2006," ujar Prof Windia.

Tim Teknis tersebut menghasilkan bahan kajian dengan merumuskan pembentukan DA dan KI yang dikaitkan dengan peranan subak dan sedahan agung.

Upaya tersebut pada tahun ketiga diusulkan dengan merevisi Perda Nomor 2 Tahun 1972 tentang Irigasi di Bali dengan harapan agar kajian pada tahun pertama dan kedua dapat dimasukkan dalam rumusan Ranperda Sistem Subak.

"Tetapi, demikianlah seperti biasanya, perebutan `proyek` dalam birokrasi pemerintahan sudah menjadi wacana publik. Mula-mula saya mendengar bahwa proyek ini ditarik oleh kalangan DPRD agar menjadi ranperda inisiatif dari Dewan. Lama sekali program ini nyaris tak terdengar. Lalu sayup-sayup terdengar bahwa proyek ini dialihkan ke PU. Kemudian entah ke mana lagi selama bertahun-tahun. Akhirnya baru-baru ini muncullah Ranperda Subak," ujar Windia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement